Potensi Benturan Norma Jika Perguruan Tinggi Mengelola Tambang

Dalam fikih prioritas, meninggalkan sesuatu yang mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya adalah pilihan terbaik (Qardhawi, 2006). Salah satu implementasinya adalah meninggalkan gagasan pengelolaan tambang untuk perguruan tinggi (PT). Gagasan untuk menyejahterakan PT melalui pemberian izin pengelolaan tambang, baik secara langsung maupun lewat BUMN, berpotensi bertabrakan dengan banyak norma. Benturan dengan norma-norma ini akan berdampak signifikan dalam meluruhkan martabat PT. Tulisan ini bertujuan menambah argumen negasi yang sudah ada, namun dari sudut pandang norma internasional. Norma Keadilan Sampai saat ini, usulan pemberian izin pengelolaan tambang pada PT masih abstrak, namun dampak buruknya telah dapat diterawang. Pertama, pengelolaan yang dilakukan oleh PT berpotensi bertabrakan dengan norma keadilan. Paling tidak, pengelolaan tambang oleh PT akan bermasalah dengan keadilan distributif. Norma keadilan distributif mensyaratkan pembagian yang wajar atas sumber daya yang ada, yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing pihak. Pembagian izin pengelolaan tambang pada PT akan runyam mengingat jumlah PT yang mencapai lebih dari 5000 institusi, jenis yang beragam, kekuatan finansial yang berbeda, kemampuan manajerial yang tidak sama, jumlah mahasiswa yang tidak merata, dan lokasinya yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Akan sulit untuk membayangkan, agar adil, kira-kira pembagian izin tambang tersebut didasarkan atas apa? Atas dasar jenis PT atau atas kemampuan manajerial berdasarkan akreditasi dan peringkat? Jika menggunakan kedua kriteria ini saja, maka hanya PT yang berada di Pulau Jawa sajalah yang akan mendapat izin tambang. Padahal lokasi industri pertambangan kebanyakan di luar Pulau Jawa. Lalu bagaimana dengan PT yang dekat dengan industri tambang? Berkolaborasi dengan PT di Jawa? Pembagian kerja dan hasilnya bagaimana? Bayangkan lagi bagaimana runyamnya jika izin tambang diberikan ke lebih dari 5000 PT tersebut. Alih-alih berkontribusi pada kesejahteraan PT, yang akan terjadi adalah keributan massal atas ketidakadilan pembagian jatah pengelolaan tambang. Jika ini terjadi, maka energi PT akan terkonsentrasi pada gulat pengelolaan tambang. Energi PT yang harusnya fokus pada dunia pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat akan tergeser pada bisnis ekstraktif yang rawan ketidakadilan. PT tidak akan lagi hadir dalam membela keadilan masyarakat, tapi justru akan membela kepentingan korporasi. Dalam hal ini, tidak ada skenario yang mendukung pencapaian keadilan baik bagi masyarakat maupun antar-PT jika PT mengelola tambang. Norma Transparansi Industri Ekstraktif Kedua, pengelolaan tambang oleh PT akan berpotensi menjebak PT dalam pelanggaran norma transparansi industri ekstraktif. Norma transparansi industri ekstraktif ini dilembagakan dalam Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) yang berdiri sejak 2003 (EITI, n.d.). Setiap tahunnya, 52 negara yang berkomitmen pada norma transparansi industri ekstraktif mengirimkan laporan ke EITI. Indonesia menjadi salah satu negara yang berkomitmen dan menjadi negara di Asia Tenggara pertama yang telah mengirimkan laporannya sejak tahun 2007 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2020). Dalam validasi EITI atas laporan Indonesia pada tahun 2024, skor keseluruhan Indonesia adalah 63/100 atau terkategori “fairly low.” Meskipun Indonesia telah berkomitmen melaporkan informasi terkait industri ekstraktifnya, masih terdapat celah dalam pelaporan tersebut. EITI mencatat adanya masalah data yang tidak dipublikasi dan data yang belum dapat diverifikasi kesesuaiannya. Data yang tidak dipublikasi di antaranya adalah data kontrak bisnis dan nilai produksi, sedangkan yang belum terverifikasi adalah data beneficial ownership atau pemilik manfaat akhir dari usaha tambang tersebut. Lebih jauh lagi, laporan independen dari Transparency International Indonesia (TII) tahun 2024 memberikan skor 0,31 atau sangat rendah pada aspek transparansi korporasi untuk aspek antikorupsi. Sedangkan skor 0,30 yang juga setara dengan sangat rendah untuk transparansi aspek sosial dan hak asasi manusia (HAM). TII juga menemukan bahwa hanya 17 dari 121 perusahaan tambang yang mempublikasikan laporannya di laman perusahaan. Rendahnya komitmen perusahaan tambang dalam upaya antikorupsi menunjukkan bahwa industri tambang merupakan industri yang sangat rawan korupsi. Lingkup korupsi ini bisa dimulai dari proses perizinan sampai pengawasan kegiatan pertambangan. Longgarnya regulasi dan orientasi maksimalisasi keuntungan juga berkontribusi terhadap tingginya risiko korupsi dan kerusakan lingkungan. Jika PT diberikan izin pengelolaan tambang, tidak ada jaminan pelaporannya akan lebih transparan. Yang ada, PT akan terseret dalam pusaran kasus korupsi tambang. Berkaca pada kasus Harvey Moeis, kasus pidana korupsi tambang melibatkan kerugian negara sampai ratusan triliun rupiah. Berat rasanya membayangkan seorang insan cendekia kampus atau guru besar didakwa kasus korupsi tambang dengan kerugian negara yang sebegitu besar. Jika ini benar-benar terjadi, maka lunturlah kepercayaan masyarakat terhadap PT yang menjadi suar etika dan moral bangsa. Norma Perlindungan HAM Ketiga, PT juga berisiko terlibat dalam pelanggaran norma perlindungan HAM. Pelanggaran HAM akibat dari usaha pertambangan bukan omong kosong. Komisi Nasional (Komnas) HAM menyampaikan laporan pelanggaran HAM atas usaha pertambangan di berbagai daerah. Dalam laporannya tahun 2022, Komnas HAM mencatat pelanggaran HAM di Sulawesi Tengah berupa penyerobotan tanah, penembakan oleh oknum polisi pada aksi demo menolak tambang, dan penutupan akses bagi warga dalam pemanfaatan ruang untuk pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat Poboya. Pada tahun yang sama, Amnesty International juga menyoroti pelanggaran HAM atas rencana penambangan emas di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua (Amnesty International, 2022). Rencana penambangan ini akan melanggar hak-hak warga adat dan berpotensi merusak lingkungan sekitarnya. Sekali lagi, mari kita bayangkan jika PT diberikan izin mengelola tambang di daerah seperti Intan Jaya. Tidak ada jaminan bahwa PT akan lebih diterima oleh masyarakat adat. Yang pasti, PT akan terlibat dalam pelanggaran HAM masyarakat adat, menghilangkan sumber makanan utama mereka, mencemari lingkungan, dan memaksakan kepentingan dengan kekerasan. Tidak ada hal hebat yang akan didapat oleh PT atas pelanggaran HAM tersebut. Yang ada, PT Indonesia akan menjadi satu-satunya institusi pendidikan di dunia yang melakukan pelanggaran HAM atas dasar kesejahteraan PT. Pelanggaran atas tiga norma ini saja rasanya cukup untuk menangkis argumen pemerintah dan selintir PT yang mendukung gagasan pengelolaan tambang oleh PT. Para cerdik pandai di PT tahu betul bahwa kesesatan dalam berpikir akan melahirkan kerusakan dunia yang nyata. Semoga tidak terjadi. Referensi Qardhawi, Yusuf. (2006). Fi Fiqhil Aulawiyyat. Kairo: Maktabah Wahbah EITI. (n.d.). https://eiti.org/our-mission. Diakses pada 1 March 2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2020). Laporan EITI Indonesia 2019-https://portaldataekstraktif.id/storage/post-file/20240604163711/laporan%20eiti%20indonesia%202019-2020.pdf. Diaksespada 1 Maret 2025. Amnesti Internasional. (2022). Perburuan Emas: Rencana Penambangan Blok WabuBerisiko Memperparah Pelanggaran HAM di Papua. https://www.amnesty.id/wp-content/uploads/2022/03/Perburuan-Emas.pdf. Diakses pada 1 Maret 2025

Gencatan Senjata Gaza: Akhir Ketegangan atau Sekedar Jeda?

Sejak 7 Oktober 2023, penyerangan Israel ke Gaza sampai hari ini telah menewaskan 110.000 ribu jiwa hingga terjadi genosida besar-besaran (Amnesty International, 2025). Saat ini konflik Israel – Palestina telah melakukan gencatan senjata. Tentunya yang terlibat dalam perundingan tersebut adalah Hamas dan Israel. Secara resmi gencatan senjata tersebut dilakukan pada hari Minggu 19 Januari 2025. Gencatan senjata ini seharusnya dilakukan sejak Senin 13 Januari 2025, tetapi mengalami penundaan sampai pada hari Minggu. Hal ini dilakukan tepat sehari sebelum presiden baru Amerika Serikat yaitu Donald Trump dilantik. Tanda awal berlakunya gencatan senjata antara Israel – Palestina adalah adanya pertukaran sandera tahanan Israel dan tahanan Palestina. Gencatan senjata ini akan dilakukan selama 42 hari sejak terhitung Minggu 19 Januari 2025. Dengan adanya gencatan senjata ini, tentunya menimbulkan harapan baru bagi warga Palestina tentang perdamaian yang dimana mereka telah berjuang mati-matian selama ini. Seperti ungkapan warga Palestina bahwa: “Kesepakatan gencatan senjata ini merupakan hasil dari keteguhan nyata rakyat Palestina dan perlawanan gagah berani kami di Jalur Gaza selama lebih dari 15 bulan.” Dari sisi Israel memiliki pendapat yang berbeda. Netanyahu menyampaikan bahwa gencatan ini adalah gencatan senjata di Gaza dengan Hamas, yang akan berlaku Ahad 19 Januari 2025, hanya akan menjadi kesepakatan sementara (Jerusalem Post, 2025). Maka timbul sebuah pertanyaan apakah ini menjadi sebuah jeda atau akhir ketegangan.  Ada beberapa syarat dari gencatan senjata yang dilakukan oleh Israel dan Palestina. Kesepakatan yang pertama adalah penarikan pasukan Israel. Tentara Israel akan ditarik dari daerah padat penduduk di sekitar perbatasan Gaza serta wilayah perlintasan termasuk Wadi Gaza. Penarikan ini bertujuan untuk mengurangi eskalasi konflik dan memberikan ruang bagi upaya kemanusiaan. Tentara Israel akan ditempatkan di wilayah yang lebih jauh dari daerah penduduk dengan pengawasan yang lebih ketat di jalur perbatasan. Kesepakatan yang kedua adalah prisoner exchange. Terjadi beberapa poin kesepakatan pertukaran tahanan antara Israel dan Palestina berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Dari semua poin-poin kesepakatan prisoner exchange, tahanan wanita dan anak-anak akan menjadi prioritas dalam pembebasan ini. Kesepakatan ketiga adalah Israel akan secara bertahap mengurangi keberadaan pasukannya di Philadelphi Corridor. Penarikan pasukan dilakukan untuk menciptakan rasa aman bagi warga sipil Palestina di sekitar jalur perbatasan. Batas waktu pengurangan dan penarikan pasukan ini tidak akan memakan waktu lebih dari 50 hari. Kesepakatan yang keempat adalah perbatasan Rafah dimana jalur ini akan digunakan untuk transfer warga sipil yang terluka dan menjadi jalur untuk kegiatan kemanusiaan dengan pengawasan ketat oleh mediator. Kesepakatan yang kelima adalah pemulangan pengungsi Palestina yang telah terusir, dimana mereka diizinkan kembali ke rumah masing-masing tanpa membawa senjata. Terdapat proses evakuasi bagi warga sipil dan terluka dengan melintasi perbatasan Rafah. Kemudian kesepakatan yang terakhir adalah adanya protokol bantuan kemanusiaan. Semua prosedur kemanusiaan akan diawasi oleh mediator internasional sesuai dengan protokol yang telah disepakati. Walaupun sudah terjadi persetujuan tentang syarat gencatan senjata, tetapi pasukan Israel masih melakukan pelanggaran mengenai gencatan senjata. Sebagai contoh adalah kendaraan militer Israel melepaskan tembakan di jembatan Wadi Gaza, Gaza Tengah pada tanggal 21 Januari 2025.  Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas mendapat sambutan positif dari para pemimpin dunia dan organisasi internasional, yang berharap langkah ini dapat mengakhiri agresi Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Terdapat beberapa tanggapan dan reaksi dari pemimpin dunia dan organisasi internasional mengenai gencatan senjatan ini. Pertama dari mantan presiden Amerika Serikat Joe Biden. Biden mengatakan bahwa gencatan senjata ini sesuai dengan usulan yang disampaikannya pada 31 Mei 2024 dan disepakati oleh DK PBB. Ia juga menyambut baik gencatan senjata ini, memberikan harapan bagi kembalinya warga negara Amerika Serikat yang disandera di Gaza (Brookings Institution, 2025). Keir Starmer sebagai Perdana Menteri Inggris menyatakan bahwa gencatan senjata ini adalah “kabar yang tertunda lama” dan menjadi peluang untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan untuk mengakhiri penderitaan di Gaza (BBC News, 2025). Ia juga mendorong upaya mencapai solusi permanen untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina berdasarkan solusi dua negara. Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, Perdana Menteri Qatar menyatakan bahwa kesepakatan ini baru langkah awal menuju perdamaian. Antonio Guterres sebagai Sekretaris Jenderal PBB sangat mengapresiasi kesepakatan tersebut dan meminta semua pihak untuk mematuhi ketentuannya. PBB siap mendukung implementasi kesepakatan ini dan meningkatkan pengiriman bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan kepada warga Palestina (United Nations Report, 2025). Masih banyak lagi reaksi dari pemimpin dunia dan organisasi internasional terhadap gencatan senjata Israel-Palestina. Mereka sangat menyambut positif dan optimis adanya gencatan senjata tersebut, dengan harapan adanya perdamaian yang permanen di masa depan antara Israel-Palestina.  Ada beberapa dampak positif dari adanya gencatan senjata tersebut. Adapun dampak positif tersebut adalah pemulihan psikologis, pembebasan tahanan, rekonstruksi infrastruktur, dan memperbaiki keadaan ekonomi (World Bank Report, 2025). Sehingga besar harapan terjadinya perdamaian permanen antara Israel-Palestina karena banyak sekali membawa dampak positif bagi kedua negara tersebut dan dunia.  Dalam sebuah artikel mengatakan bahwa Trump berharap dengan adanya gencatan ini, mampu mewujudkan perdamaian dan menormalisasi hubungan Arab – Israel (New York Times, 2025). Akan tetapi fakta yang ada adalah terdapat penolakan keras dari Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich. Dia mengatakan bahwa akan mengancam Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu jika jalur Gaza tidak dikuasai oleh Israel. Bezalel mengatakan bahwa ini menjadi sebuah kesalahan serius Israel dan bentuk penyerahan diri Israel terhadap Hamas. Selain itu, jika melihat kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Trump, terdapat tantangan yang akan dihadapi oleh Palestina-Israel dalam melakukan gencatan senjata. Sehingga muncul pertanyaan, sejauh mana endurance Trump dalam gencatan senjata Israel-Palestina? Tidak bisa dipungkiri realita bahwa Trump tidak bisa memberikan jaminan gencatan senjata di Gaza dapat bertahan. Trump masih melihat bahwa Hamas adalah ancaman bagi Amerika Serikat. Trump juga masih tidak tertarik membahas mengenai pembentukan negara Palestina. Terakhir adalah Trump tidak melarang rencana Israel untuk menguasai lebih banyak wilayah di Tepi Barat. Sehingga apakah ini menjadi sebuah akhir dari ketegangan atau sekedar jeda melihat kebijakan luar negeri Amerika Serikat di bawah Trump seperti itu.  Referensi Amnesty International. (2025). Gaza conflict and human rights violations: An investigative report. Amnesty International. Diakses pada 13 Februari 2025 dari https://www.amnesty.org Brookings Institution. (2025). U.S. foreign policy and the Israel-Palestine conflict under Trump’s administration. Brookings Institution. Diakses pada 13 Februari 2025 dari https://www.brookings.edu British Broadcasting Corporation (BBC). (2025, 20 Januari). World leaders react