News Letter

20220304113518

Mengapa Greenwashing Berbahaya dan Bagaimana Membebaskan Diri dari Perangkapnya?

Istilah greenwashing pertama diungkapkan oleh Jay Westerveld pada tahun 1986. Greenwashing merujuk pada kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam organisasi yang menghabiskan lebih banyak waktu dan uang untuk iklan dengan tujuan menjelaskan bahwa kinerja organisasi tersebut telah ‘hijau’ dan mempraktikkan kegiatan yang ramah lingkungan (Idowu et al., 2013). Sedangkan menurut Delmas & Burbano (2011) greenwashing dideskripsikan sebagai performa lingkungan sebuah perusahaan yang buruk dan komunikasi yang positif dalam menggambarkan performa tersebut.

Perusahaan bukan berarti telah sepenuhnya menjalankan perekonomian maupun pembangunan hijau. Justru, tindakan menyesatkan mereka adalah mengelabui konsumen dengan mengatakan mereka telah melakukan proses produksi dengan cara hijau, tetapi sesungguhnya tidak.

Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, hampir 4000 produk yang dikonsumsi masyarakat ditemukan unsur greenwashing di dalamnya (Orange, 2010). Beberapa contoh menyesatkan tentang produk yang diklaim ramah lingkungan antara lain penyebutan nontoxic (tidak beracun), natural (alami), dan fragrance free (bebas pewangi). Padahal pemerintah federal Amerika Serikat tidak pernah menetapkan standar lingkungan secara spesifik terhadap produk-produk tertentu (Orange, 2010).

Tujuh Dosa Greenwashing

Secara umum dikenal tujuh dosa greenwashing (UL, n.d.) atau juga disebut sebagai Claim Greenwashing (de Freitas Netto et al., 2020). Pertama, the sin of the hidden trade-off yang merupakan klaim yang menyatakan bahwa produk bersifat hijau secara sempit tanpa memerhatikan pada aspek lingkungan lain yang penting. Contohnya adalah pembuatan kain dari kapas, bukan berarti telah ramah lingkungan meskipun bahan baku kain diambil dari panen kapes di lahan sendiri. Masih ada aspek lain seperti kemungkinan lahan kapas merupakan hasil deforestasi, adanya eksploitasi buruh, pencemaran lingkungan dari pewarna tekstil, dan sebagainya.

Kedua, the sin of no proof yang artinya adalah tidak ada bukti atau standar tertentu bahwa sebuah produk telah terverifikasi hijau. Contohnya adalah klaim mengenai kantong plastik yang berasal dari plastik daur ulang. Jika tidak ada detail informasi mengenai seberapa banyak komposisi plastik daur ulang dan detail yang lain, maka bisa dikatakan klaim hijau tidak dapat dibuktikan.

Ketiga, the sin of vagueness merupakan klaim yang menyesatkan mengenai definisi yang kurang jelas atau terlalu luas, seperti ‘terbuat dari bahan alami’. Padahal, uranium, merkuri, dan arsenik (dan masih banyak contoh lain) merupakan bahan yang terbentuk secara alami tetapi beracun.

Keempat, the sin of worshiping false label, yaitu sebuah produk yang seolah-olah memiliki mendapatkan sertifikasi, sehingga menyesatkan konsumen untuk memiliki pikiran bahwa produk tersebut telah memiliki sertifikasi hijau. Contohnya adalah produk yang memiliki tampilan berwarna hijau dan terdapat tulisan seperti ‘ramah lingkungan’, tanpa ada penjelasan atau sertifikasi tertentu yang dapat menjustifikasinya.

Kelima, the sin of irrelevance merupakan klaim yang mungkin benar tetapi tidak penting atau memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan, seperti pemberian label ‘bebas CFC’. Kenyataannya CFC telah dilarang untuk digunakan di banyak negara. Dengan memberi label tersebut, tidak akan menambah utilitas maupun kualitas produk.

Keenam, the sin of lesser of two evils, yaitu klaim yang mungkin benar dalam kategori sebuah produk, tetapi bisa membahayakan karena dampak lingkungan yang lebih besar. Contohnya adalah produk mobil sport ramah lingkungan karena menggunakan bahan bakar dari listrik. Namun, sejatinya tetap menrusak lingkungan karena listrik diproduksi dari pembangkit listrik tenaga uap batu bara.

Ketujuh, the sin of fibbing artinya adalah klaim hijau yang keliru. Contoh yang paling sering muncul adalah sertifikasi Energy Star yang mengklaim bahwa produk tersebut merupakan produk yang hemat energi dan ramah lingkungan. Namun, sebenarnya sertifikasi tersebut tidak ada.

Alih-Alih ‘Hijau’, Greenwashing Justru Berbahaya

Secara kultural, greenwashing dapat dikorelasikan dengan konsep antroposentrisme (Miller & Maxwell, 2017). Antroposentrisme menempatkan manusia sebagai pusat kegiatan pembangunan (Baker, 2006). Jika menggunakan logika tersebut, maka lazim jika perusahaan mengesampingkan aspek lingkungan dalam proses bisnis.

Kini, perusahaan sudah banyak meninggalkan Claim Greenwashing. Akan tetapi, greenwashing tersebut justru ditransformasikan perusahaan dalam bentuk lain, yaitu Executional Greenwashing (de Freitas Netto et al., 2020). Contohnya adalah dengan menampilkan produk dengan nuansa warna-warna alam seperti hijau, cokelat, dan sebagainya, menggunakan logo-logo yang menggambarkan alam seperti hutan, laut, dan sebagainya, ataupun gambar hewan-hewan yang terancam punah seperti panda dan lumba-lumba.

Greenwashing semakin berbahaya jika dihadapkan pada konteks corporate social responsibility (CSR). Perusahaan berupaya mengelabui konsumen dengan memberikan CSR, baik yang bernuansa ‘hijau’ atau tidak, untuk menutupi fakta bahwa perusahaan mereka tidak memenuhi standar lingkungan (Wu et al., 2020). Organisasi nonpemerintah internasional Greepeace telah berkali-kali menekan perusahaan-perusahaan multinasional untuk menetapkan standar dalam memerangi greenwashing dan pendanaan yang selaras dengan Kesepakatan Paris (Greenpeace International, 2021).

Berdasarkan penelitian di 45 negara pada tahun 2004-2007, perusahaan yang lebih merusak lingkungan, terutama di negara-negara yang lebih terpapar pengawasan dan norma-norma global, cenderung tidak terlibat dalam pengungkapan selektif atau transparansi proses bisnis (Marquis, 2016). Padahal, transparansi seharusnya dilakukan oleh perusahaan dengan menjelaskan seberapa hijau praktik bisnisnya untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Membebaskan Diri dari Perangkap Greenwashing

Pertama, perlu memahami dan mengakui bahwa greenwashing merupakan sesuatu yang kita konsumsi sehari-hari, bahkan kita mungkin pernah terjebak dalam perangkapnya. Dengan memiliki kesadaran ini, maka kita akan cenderung lebih berhati-hati dan kritis dalam menilai produk hijau.

Kedua, memulai gaya hidup dengan melakukan reuse, recycle, reduce produk-produk yang kita konsumsi. Menerapkan gaya hidup ini berarti kita telah memperpanjang usia produk yang kita konsumsi atau pakai, sehingga mengurangi kecenderungan untuk menjadi konsumtif.

Ketiga, mempromosikan dan mengampanyekan bahaya greenwashing. Clicktivism menjadi jalan yang sering ditempuh untuk melakukan kampanye lingkungan.

Keempat, kampanye saja tidak cukup, perlu dukungan secara sistemik dari otoritas untuk melepaskan konsumen dari jerat greenwashing. Otoritas perlu berkolaborasi dengan cendekiawan untuk merumuskan regulasi yang aplikatif dan tegas dalam menindak perusahaan yang melakukan greenwashing.

Kelima, menuntut perusahaan untuk melakukan transparansi dalam bisnis yang ia jalankan. Dengan dukungan regulasi yang tepat, maka transparansi tidak sekadar hitam di atas putih, tetapi juga implementatif.

Inti dari upaya ini adalah individu mungkin mampu menciptakan dampak di level mikro dalam melepaskan diri dari jerat greenwashing. Akan tetapi, di level hulu, pembuatan kebijakan yang aplikatif dan implementasi yang tegas merupakan aksi kolektif yang sesungguhnya. Tanpa kebijakan dari otoritas, maka upaya memberantas greenwashing terdengar seperti ‘menggarami air laut’.

Referensi:

Baker, S. (2006). Sustainable Development. New York: Routledge.

de Freitas Netto, S. V., Sobral, M. F. F., Ribeiro, A. R. B., & Soares, G. R. da L. (2020). Concepts and forms of greenwashing: A systematic review. Environmental Sciences Europe, 32(1), 19. https://doi.org/10.1186/s12302-020-0300-3

Delmas, M. A., & Burbano, V. C. (2011). The drivers of greenwashing. Journals.Sagepub.Com, 54(1), 64–87. http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1525/cmr.2011.54.1.64%0Ahttps://www0.gsb.columbia.edu/mygsb/faculty/research/pubfiles/14016/cmr5401_04_printversion_delmasburbano.pdf

Greenpeace International. (2021). Green(washing) finance: sustainability funds fail to live up to their name. https://www.greenpeace.org/international/press-release/48443/greenwashing-finance-sustainability-funds-fail-to-live-up-to-their-name/

Idowu, S. O., Capaldi, N., Zu, L., & Gupta, A. D. (Eds.). (2013). Encyclopedia of Corporate Social Responsibility. Springer Berlin Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-28036-8

Marquis, C., Toffel, M. W., & Zhou, Y. (2016). Scrutiny, Norms, and selective disclosure: A global study of greenwashing. Organization Science, 27(2), 483–504. https://doi.org/10.1287/orsc.2015.1039

Miller, T., & Maxwell, R. (2017). Greenwashing Culture. In Paper Knowledge. Toward a Media History of Documents. Routledge. https://doi.org/https://doi.org/10.4324/9781315659251

Orange, E. (2010). FROM ECO-FRIENDLY TO ECO-INTELLIGENT. 28–32.

UL. (n.d.). Sins of Greenwashing. Retrieved April 23, 2022, from https://www.ul.com/insights/sins-greenwashing

Wu, Y., Zhang, K., & Xie, J. (2020). Bad greenwashing, good greenwashing: Corporate social responsibility and information transparency. Management Science, 66(7), 3095–3112. https://doi.org/10.1287/mnsc.2019.3340

Facebook
Twitter
LinkedIn
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

OFFICE

Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences UII Kaliurang St Km. 14,5, Krawitan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman Regency, Special Region of Yogyakarta 55584

FOLLOW OUR ACTIVITY

Hak Cipta 2024 | Institute for Global and Strategic Studies (IGSS)