Di awal tahun 2024, kebanyakan negara di kawasan Asia-Pasifik sedang menghadapi proses pemilihan umum. Hampir keseluruhan proses pemilihan umum berlangsung dengan relatif lancar, namun ada satu fenomena menarik yang dapat disaksikan dalam dinamika pemilu tersebut. Di sepanjang 2024, beberapa negara seperti Bangladesh, India, Indonesia dan Iran telah menempuh proses pemilu secara relatif lancar. Meskipun begitu, di negara-negara seperti Bangladesh dan Indonesia, dinamika pemilu berlangsung dengan begitu banyak problematika, diantaranya adalah manipulasi aturan untuk melanggengkan kekuasaan yang dilakukan oleh petahana dengan instrumen politik dan legal yaang tersedia. Tulisan ini akan mencoba untuk membahas proses demokratisasi dan integritas lembaga politik dapat bangkit dan runtuh seiring dengan menguatnya politik dinasti di negara-negara Asia, utamanya dalam studi kasus Bangladesh dan Indonesia.
Politik Dinasti dan Demokratisasi
Demokrasi layaknya memberikan kesempatan kepada seluruh negara untuk dapat menduduki jabatan publik dan memiliki hak untuk diwakili serta mewakili di parlemen. Kesempatan ini dapat diberikan secara merata tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, agama dan gender. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, warga negara dari latar belakang sosial, budaya, dan agama yang marginal diberikan akses dan kesempatan lebih melalui affirmative action atau diskriminasi positif. Tujuan dari pemberian diskriminasi positif ini adalah agar kelompk masyarakat marginal yang semulanya memiliki posisi yang tidak menguntungkan dalam dinamika sosial dan politik dapat diberikan ruang yang lebih besar serta kesempatan yang lebih banyak untuk dapat mengartikulasikan kepentingannya (Rubenfeld, 1997).
Namun, momentum demokratisasi dimanipulasi pula oleh eksistensi dinasti politik yang memahami arena politik demokratis sebagai sebuah cara untuk melakukan kooptasi terhadap aktor-aktor dalam sistem politik yang terbuka. Dalam penjelasannya terkait dengan dinamika politik domestik dalam sistem demokrasi, Yoes Kenawas menjelaskan bahwa demokrasi yang memberikan peluang kepada aktor politik untuk berperan secara seluas-luasnya dalam sistem politik justru membuka kunci bagi perkembangan politik dinasti (Kenawas, 2015). Sistem demokrasi digunakan oleh dinasti politik untuk membangun karir bagi anggota keluarganya untuk berperan dalam berbagai posisi publik, semisal dengan menjadi pimpinan partai hingga kepala daerah. Hal ini lazim ditemukan di negara-negara yang masih mengalami konsolidasi demokrasi, dimana institusi pemerintahan dan kerangka hukum masih mengalami pemantapan. Ketika para anggota keluarga yang menjadi bagian dari dinasti politik mulai memiliki pengaruh, dinasti politik memperkuat dirinya dengan membangun jejaring-jejaring politik informal di berbagai sektor yang aktivitasnya disokong oleh kapasitas material yang telah diakumulasi oleh dinasti politik.
Ketika jejaring politik informal diperkuat dengan aset material yang tak terbatas yang terhubung dalam jaringan klientelisme, tidak heran dinasti politik begitu besar pengaruhnya dalam proses perumusan kebijakan publik dan dinamika ekonomi di negara-negara berkembang. Intervensi politik dapat dilakukan oleh dinasti politik kapanpun ketika mereka merasa bahwa dominasi mereka ditentang oleh oposan. Dalam beberapa kasus, seperti kasus di Bangladesh dan Indonesia yang akan diceritakan mendetil di bawah, dinasti politik menjadi kunci kegagalan upaya reformasi politik dan ekonomi yang dikehendaki dalam proses konsolidasi demokrasi. Seperti sebuah ironi, demokrasi memberi panggung bagi dinasti politik, lalu dinasti politik merebut demokrasi dari mereka yang memiliki dan memberi kuasa politik tersebut: rakyat. Kisah Dinasti Hasina dan Dinasti Mulyono memberikan gambaran tentang dinamika dinasti politik yang merenggut kedaulatan dan merangsek kekuasaan dengan memanipulasi demokrasi.
Tumbangnya Dinasti Hasina
Kisah Dinasti Hasina dimulai dengan karir politik seorang perempuan anak pendiri Republik Rakyat Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman. Karir politik perempuan ini sempat dihambat oleh adanya upaya persekusi politik yang datang dari rezim militer, yang menganggap keluarga Mujibur Rahman dan eksponen politiknya sebagai ancaman politik yang nyata bagi keutuhan Bangladesh. Namun, terlepas dari tekanan-tekanan politik yang menghujam Hasina dan keluarga Rahman, adanya kedekatan agenda politik Hasina dengan kelompok mahasiswa dan eksponen politik kiri membuat Dinasti Hasina mulai mendapatkan momentum untuk melakukan dominasi dalam perpolitikan Bangladesh (Thompson, 2019).
Awalnya, pemerintahan Hasina didapuk sebagai pemerintahan yang pro-miskin, pro-minoritas dan pro-pemerataan. Sebagai representasi dari partai yang mewakili ideologi sosialisme, Liga Awami yang didirikan oleh Mujibur Rahman dan diteruskan oleh Shekih Hasina Wazed menerapkan program yang memprioritaskan masyarakat miskin dan perempuan, seperti pemberian kredit rendah bunga dan subsidi pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini kemudian memang memotori pertumbuhan Bangladesh secara cukup signifikan, dan membuat Bangladesh dapat mengamankan kelulusan status dari Least Developed Country menjadi Developing Country (Rahman & Bari, 2018).
Sepintas, pencapaian Hasina nampak mengagumkan dan banyak negara-negara maju mulai tertarik untuk melakukan investasi dalam skala besar di Bangladesh. Namun, langkah-langkah maju ini juga diikuti dengan kemunduran signifikan dalam kehidupan berpolitik di Bangladesh. Hasina beserta Liga Awami sungguh percaya bahwa visi mereka tentang Bangladesh adalah visi yang paling benar dan layak dipercaya. Hal inilah yang mendorong Hasina dan kader-kadernya di Liga Awami melakukan persekusi skala besar kepada pihak oposisi yang dianggap merongong cita-cita Visi 2073 yang menargetkan Bangladesh menjadi negara maju. Kerapkali, Hasina menggunakan instrumen kepolisian dan kehakiman untuk menutup peluang bagi para oposannya dalam memberikan wacana alternatif tentang masa depan Bangladesh. Ini terlihat dari bagaimana dua partai besar yang menjadi motor pergerakan oposisi di Bangladesh, Jamaat-e Islami Bangladesh dan Bangladesh National Party, diberikan larangan untuk melakukan aktivitas perpolitikan dan terlibat dalam pemilihan umum. Kader-kader dari Jamaat-e Islami Bangladesh bahkan dipidana kurungan penjara dan hukuman mati, karena dituduh terlibat dalam makar melawan pemerintahan Bangladesh dan turut serta menjadi kolaborator Pakistan dalam Perang Kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971 (Shah, 2016; Kumar, 2018).
Hasina menebalkan benteng kuasanya juga dengan memastikan bahwa anggota keluarga dan seluruh kroni yang membantu konsolidasi kuasa politik dan ekonomi dinasti Hasina di Bangladesh untuk menjabat di berbagai jabatan publik dan korporasi di Bangladesh. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Al-Jazeera pada tahun 2021, Hasina membagi kuasa secara merata tidak hanya kepada anggota keluarga, tapi juga kroni-kroninya yang berada di militer, kepolisian, dan institusi peradilan. Salah satu skandal terbesar yang diungkap dalam investigasi tersebut adalah kroni Azis Ahmed yang merupakan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Bangladesh dan terlibat dalam banyak pembunuhan ekstrajudisial. Skandal ini menjadi episode pembuka bagi keruntuhan Hasina (Aljazeera, 2024).
Di tengah ekonomi Bangladesh yang serba tidak menentu karena inflasi dan pemulihan ekonomi paska-pandemi, Hasina justru memperumit petaka bagi rakyat Bangladesh dengan menetapkan aturan diskriminatif dalam rekrutmen pegawai negeri sipil. Aturan ini menegaskan bahwa keturunan dari pejuang kemerdekaan Bangladesh yang berada dalam barisan politik ayah Hasina, Mujibur Rahman, akan mendapatkan kuota khusus dalam rekrutmen tersebut. Aturan yang dibuat pada tahun 2024 ini merupakan bata akhir yang Hasina pakai untuk menebalkan benteng kuasanya, namun ternyata bata inilah yang meruntuhkan benteng kuasa Hasina secara keseluruhan (The Hindu, 2024).
Bangkit dan Goyahnya Dinasti Mulyono
Tidak ada yang menyangka bahwa ‘orang Solo’ yang selalu dicitrakan sederhana dan apa adanya akan menjadi ‘raja Jawa’ yang berlaku layaknya durjana. Di tahun 2014, penulis ingat betul betapa ‘sihir’ dari orang Solo satu ini betul-betul memberikan dampak luar biasa, yakni kemenangan yang seolah-olah tertulis sebagai ‘kemenangan demokrasi oleh rakyat’. Bagaimana tidak, ragam media besar dan berpengaruh semisal TIME menandai kemenangan Mulyono sebagai ‘sebuah harapan baru’. Jokowi dianggap sebagai figur yang dapat mengakhiri kuasa dari Orde Baru yang dianggap telah menutup peluang transformasi politik dan ekonomi Indonesia.
Mulyono yang dianggap pemimpin yang muncul dari bawah dan digerakkan oleh inisiatif rakyat, sehingga awalnya dipersepsi sebagai pemimpin yang tidak mungkin dipengaruhi oleh elemen-elemen elit dan oligarki. Pada awalnya, kesan itu menimbulkan sentimen baik di pasar dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Namun, beberapa kejadian justru memperkuat tendensi otoritarianisme Mulyono yang merasa bahwa visi Indonesia yang ia anut merupakan satu-satunya visi yang benar dan layak untuk dijalankan di Indonesia. Dengan menggunakan kondisi ancaman teror yang dilakukan oleh ISIS, Mulyono melarang beberapa organisasi masyarakat sipil, seperti FPI dan HTI untuk melakukan aktivitas kemasyarakatan di Indonesia. Menariknya, hal ini dilakukan secara sistematik oleh Mulyono dengan mengutamakan narasi ‘melindungi kebhinnekaan dan pluralisme’ dari ancaman radikalisme yang ‘mengancam demokrasi’. Seiring dengan otokrasi yang makin meningkat, upaya Mulyono untuk mengggunakan cara otoriter demi melindungi pluralisme dapat digambarkan dengan konsep ‘illiberal multiculturalism’, dimana kultur beragam disatukan secara paksa melalui cara-cara yang tidak demokratis dan tidak berasaskan kebebasan (Pogonyi, 2007).
Kebebasan ekspresi juga mengalai kemerosotan yang signifikan, sesuai data dari Freedom House dan VDem yang mengindikasian bahwa kualitas demokrasi Indonesia mengalami pemburukan disebabkan adanya upaya elit yang merongrong kuasa serta proses-proses demokrasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya (V-Dem Institute, n.d.).
Layaknya Hasina, di puncak kekuasaannya, Mulyono malah makin menguatkan kuasanya melalui serangkaian kebijakan yang sengaja dibuat untuk memancing kemarahan rakyat. Salah satu ‘kebijakan’ yang diambil oleh Mulyono adalah mengatur dinamika pemilu agar dapat menempatkan anaknya sebagai calon Wakil Presiden pada pemilu presiden lalu. Nampaknya, hal itupun tidak dianggap cukup oleh yang kemudian juga hampir saja meloloskan anaknya yang lain pula sebagai calon kepala daerah di Daerah Khusus Jakarta. Inilah yang kemudian memicu ragam respon dari masyarakat sipil di Indonesia untuk menyuarakan ‘Peringatan Darurat’. Meskipun ‘Peringatan Darurat’ tidak berujung pada keruntuhan rezim, dalam beberapa hal bisa dilihat bahwa masyaraat mulai terbuka dan memahami kritik-kritik tentang dinasti Mulyono yang makin menjadi ancaman bagi sesama warga Indonesia. Adanya kekecewaan masyarakat terhadap hilangnya sikap kerakyatan dan keteladanan dari Mulyono dan keluarga saat ini menjadi semacam bara yang siap berkobar untuk menghidupkan kembali demokrasi yang lama sudah padam.
Referensi
Al Jazeera. (2024, May 21). US blacklists ex-Bangladesh general named in Al Jazeera investigation. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2024/5/21/us-blacklists-ex-bangladesh-general-named-in-al-jazeera-investigation
Kenawas, Y. C. (2015). The rise of political dynasties in a democratic society. Dalam www. isrsf. Org.
Kumar, A. (2018). The Opposition in Bangladesh. Indian Foreign Affairs Journal, 13(4), 284-291.
Pogonyi, S. (2007). Illiberal practices under the veil of multiculturalism. Regio-Minorities, Politics, Society-English Edition, 10(1), 217-237.
Rahman, M., & Bari, E. (2018). Pathways to Bangladesh’s sustainable LDC graduation: Prospects, challenges and strategies. In Bangladesh’s Graduation from the Least Developed Countries Group (pp. 109-152). Routledge.
Rubenfeld, J. (1997). Affirmative action. Yale LJ, 107, 427.
Shah, A. (2016). Democracy deadlocked in Bangladesh. Current History, 115(780), 130-135
The Hindu. (2024, September 5). Bangladeshi protesters demand end to civil service job quotas. The Hindu. https://www.thehindu.com/news/international/bangladeshi-protesters-demand-end-to-civil-service-job-quotas/article68380404.ece
Thompson, M. R. (2019). The rise and downfall of dynastic female leaders in Asia. In Asian women leadership (pp. 49-63). Routledge.
Varieties of Democracy (V-Dem) Institute. (n.d.). Country graph. V-Dem. https://v-dem.net/data_analysis/CountryGraph/