Indonesia’s Foreign Policy in Shaping Indo-Pacific Geostrategy Through RCEP

The difficulty of reaching agreements through the World Trade Organization (WTO) has led world leaders to seek alternative means of trade cooperation, such as Regional Trade Agreements (RTA). Thomas Oatley (2012) views RTA as a more promising way to negotiate and implement trade agreements. RTA is a way to enhance a country’s market access with a crucial trading partner, indicating a strong commitment to economic reform to attract foreign investors. RTA aims to bolster bargaining power as a group in multilateral trade negotiations and it is easier to establish than global trade agreements, which involve a larger number of countries with diverse interests. While operating on a regional scale, RTAs can have implications for global trade governance (Oatley, 2023).  Starting in 2000, world leaders, including the Indo-Pacific region, have considered various frameworks for establishing RTA. One result of this thinking is the Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP). RCEP was initiated by Indonesia as the chairman of ASEAN in 2011. RCEP involving 10 ASEAN member countries (Brunei, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand, and Vietnam) and 6 non-ASEAN countries which already have a Free Trade Agreement with ASEAN (Australia, China, India, Japan, New Zealand, and South Korea) (Oba, 2016). However, India decided to withdraw from RCEP in 2019. Despite the delays and hurdles in the ratification process due to the Covid-19 pandemic, RCEP came into force for Indonesia on 2 January 2023, coinciding with the start of Indonesia’s ASEAN Chairmanship. RCEP encompassed various aspects such as trade in goods and services, investment, economic and technical cooperation, intellectual property, competition, dispute resolution, e-commerce, and support for small and medium enterprises in ASEAN member States and ASEAN trade partners (ASEAN, 2023). RCEP AND ITS VAST POTENTIAL Beyond trade, the Indo-Pacific has emerged as a concrete area for regional cooperation across various fields. Increased RTA will certainly help in reshaping policies in the region. Such advantages place the Indo-Pacific as the foremost channel for economic collaboration. It is important for Indonesia to place itself as the pivotal country to expand markets and integrate Indonesia’s economy into the Regional Value Chain and Global Value Chain through RCEP (Gultom, 2020). Especially, RCEP serves as the umbrella for ASEAN’s economic collaboration with partner countries which creates a favorable economic climate in the region. It has the potential to create spill-over effects that can enhance Indonesia’s efforts in achieving its interests (Springer, 2021).  Collectively, RCEP represents a significant market. It covers 30.2% of the total world GDP and 30% of the world’s population, with 27% of global trade and 29% of world FDI. This vast potential suggests that RCEP could offer substantial opportunities for its member countries. RCEP is expected to attract more foreign direct investment to Indonesia from both local and foreign sources. Because of its vast market with great potential, Indonesia sees RCEP as a productive framework to thrive. It is more than just a trade agreement, it is a comprehensive economic cooperation pact that enhances security, regional political stability, and reinforces ASEAN’s centrality in Southeast Asia and the Indo-Pacific (Maulana, 2021). INDONESIA’S FOREIGN POLICY IN UTILIZING RCEP  Various geopolitical debates surround the running of RCEP especially when Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF) was initiated not long after. Amid the economic tensions between the US, which is part of the IPEF, and China as a member of RCEP, both partnerships in the Indo-Pacific region are seen as a battlefield and competition arena for major powers to expand their influence. However, Indonesia emphasized that RCEP does not stand as a competitor, but rather RCEP as a balancing act (Kavanagh & Cuéllar, 2024). Therefore, the further path of RCEP must be cautious given that the US and China each have partnerships in Indo-Pacific. Indonesia and member countries need to pay close details to prevent new tensions and ensure it can serve as a mediator by establishing a free and open order based on the principles of the rule of law. RCEP is a great opportunity for Indonesia to lead the middle power in geostrategy. Beside as the initiator, Indonesia is also a key coordinator in the RCEP negotiations with unwavering commitment to prioritizing collective regional development to sustain trade, coupled with domestic reforms aimed at eliminating trade barriers, particularly within the RCEP framework (Patunru & Aprilianti, 2020). As a pivotal member of ASEAN, Indonesia also holds the potential to contribute significantly to maintaining geopolitical stability and collaboration in bridging differences and adherence to principles. Indonesia encourages the participation of ASEAN to become a bridge between large and small countries in discussing the emerging Indo-Pacific strategic concept. Indonesia wants RCEP to reflect the value of its initiator, which allows members to have their opinion and enter the partnership formally on their terms. Not to forget that RCEP is an ASEAN-driven initiative and with barriers being lifted, ASEAN member states have the opportunity to diversify their trading partners, thereby bridging any country (Sandrina & Prastyono, 2024). Being a member of RCEP is a step towards implementing Indonesia’s foreign policy in promoting regional stability and advancing shared interests over time. Compared to others, Indonesia’s policy in the Indo-Pacific region is more inclusive, less overtly geopolitical, and places a stronger emphasis on collaboration. Indonesia’s commitment and participation in RCEP is by promoting free and active foreign policy with an orientation towards national interests and world peace. This foreign policy is not transactional, rather it is rooted in principles and long-term strategic objectives. Through this foreign policy, Indonesia wants to include all actors without isolating any particular player and maintaining the principle of neutrality by fostering peaceful economic relations with both the US and China (Agastia, 2020). In particular to free and active foreign policy, Indonesia will show neutrality by not favoring any particular actor and will cooperate with every country. And as a developing country, Indonesia will have the potential to bridge other developing countries with major powers.  There is no reference to how the RCEP should proceed or develop, especially its unprecedented size and member composition.

Bangkit dan Runtuhnya Politik Dinasti di Asia: Kasus Dinasti Hasina dan Dinasti Mulyono

Di awal tahun 2024, kebanyakan negara di kawasan Asia-Pasifik sedang menghadapi proses pemilihan umum. Hampir keseluruhan proses pemilihan umum berlangsung dengan relatif lancar, namun ada satu fenomena menarik yang dapat disaksikan dalam dinamika pemilu tersebut. Di sepanjang 2024, beberapa negara seperti Bangladesh, India, Indonesia dan Iran telah menempuh proses pemilu secara relatif lancar. Meskipun begitu, di negara-negara seperti Bangladesh dan Indonesia, dinamika pemilu berlangsung dengan begitu banyak problematika, diantaranya adalah manipulasi aturan untuk melanggengkan kekuasaan yang dilakukan oleh petahana dengan instrumen politik dan legal yaang tersedia. Tulisan ini akan mencoba untuk membahas proses demokratisasi dan integritas lembaga politik dapat bangkit dan runtuh seiring dengan menguatnya politik dinasti di negara-negara Asia, utamanya dalam studi kasus Bangladesh dan Indonesia. Politik Dinasti dan Demokratisasi Demokrasi layaknya memberikan kesempatan kepada seluruh negara untuk dapat menduduki jabatan publik dan memiliki hak untuk diwakili serta mewakili di parlemen. Kesempatan ini dapat diberikan secara merata tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, agama dan gender. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, warga negara dari latar belakang sosial, budaya, dan agama yang marginal diberikan akses dan kesempatan lebih melalui affirmative action atau diskriminasi positif. Tujuan dari pemberian diskriminasi positif ini adalah agar kelompk masyarakat marginal yang semulanya memiliki posisi yang tidak menguntungkan dalam dinamika sosial dan politik dapat diberikan ruang yang lebih besar serta kesempatan yang lebih banyak untuk dapat mengartikulasikan kepentingannya (Rubenfeld, 1997). Namun, momentum demokratisasi dimanipulasi pula oleh eksistensi dinasti politik yang memahami arena politik demokratis sebagai sebuah cara untuk melakukan kooptasi terhadap aktor-aktor dalam sistem politik yang terbuka. Dalam penjelasannya terkait dengan dinamika politik domestik dalam sistem demokrasi, Yoes Kenawas menjelaskan bahwa demokrasi yang memberikan peluang kepada aktor politik untuk berperan secara seluas-luasnya dalam sistem politik justru membuka kunci bagi perkembangan politik dinasti (Kenawas, 2015). Sistem demokrasi digunakan oleh dinasti politik untuk membangun karir bagi anggota keluarganya untuk berperan dalam berbagai posisi publik, semisal dengan menjadi pimpinan partai hingga kepala daerah. Hal ini lazim ditemukan di negara-negara yang masih mengalami konsolidasi demokrasi, dimana institusi pemerintahan dan kerangka hukum masih mengalami pemantapan. Ketika para anggota keluarga yang menjadi bagian dari dinasti politik mulai memiliki pengaruh, dinasti politik memperkuat dirinya dengan membangun jejaring-jejaring politik informal di berbagai sektor yang aktivitasnya disokong oleh kapasitas material yang telah diakumulasi oleh dinasti politik. Ketika jejaring politik informal diperkuat dengan aset material yang tak terbatas yang terhubung dalam jaringan klientelisme, tidak heran dinasti politik begitu besar pengaruhnya dalam proses perumusan kebijakan publik dan dinamika ekonomi di negara-negara berkembang.  Intervensi politik dapat dilakukan oleh dinasti politik kapanpun ketika mereka merasa bahwa dominasi mereka ditentang oleh oposan. Dalam beberapa kasus, seperti kasus di Bangladesh dan Indonesia yang akan diceritakan mendetil di bawah, dinasti politik menjadi kunci kegagalan upaya reformasi politik dan ekonomi yang dikehendaki dalam proses konsolidasi demokrasi. Seperti sebuah ironi, demokrasi memberi panggung bagi dinasti politik, lalu dinasti politik merebut demokrasi dari mereka yang memiliki dan memberi kuasa politik tersebut: rakyat. Kisah Dinasti Hasina dan Dinasti Mulyono memberikan gambaran tentang dinamika dinasti politik yang merenggut kedaulatan dan merangsek kekuasaan dengan memanipulasi demokrasi. Tumbangnya Dinasti Hasina Kisah Dinasti Hasina dimulai dengan karir politik seorang perempuan anak pendiri Republik Rakyat Bangladesh, Sheikh Mujibur Rahman. Karir politik perempuan ini sempat dihambat oleh adanya upaya persekusi politik yang datang dari rezim militer, yang menganggap keluarga Mujibur Rahman dan eksponen politiknya sebagai ancaman politik yang nyata bagi keutuhan Bangladesh. Namun, terlepas dari tekanan-tekanan politik yang menghujam Hasina dan keluarga Rahman, adanya kedekatan agenda politik Hasina dengan kelompok mahasiswa dan eksponen politik kiri membuat Dinasti Hasina mulai mendapatkan momentum untuk melakukan dominasi dalam perpolitikan Bangladesh (Thompson, 2019). Awalnya, pemerintahan Hasina didapuk sebagai pemerintahan yang pro-miskin, pro-minoritas dan pro-pemerataan. Sebagai representasi dari partai yang mewakili ideologi sosialisme, Liga Awami yang didirikan oleh Mujibur Rahman dan diteruskan oleh Shekih Hasina Wazed menerapkan program yang memprioritaskan masyarakat miskin dan perempuan, seperti pemberian kredit rendah bunga dan subsidi pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini kemudian memang memotori pertumbuhan Bangladesh secara cukup signifikan, dan membuat Bangladesh dapat mengamankan kelulusan status dari Least Developed Country menjadi Developing Country (Rahman & Bari, 2018).  Sepintas, pencapaian Hasina nampak mengagumkan dan banyak negara-negara maju mulai tertarik untuk melakukan investasi dalam skala besar di Bangladesh. Namun, langkah-langkah maju ini juga diikuti dengan kemunduran signifikan dalam kehidupan berpolitik di Bangladesh. Hasina beserta Liga Awami sungguh percaya bahwa visi mereka tentang Bangladesh adalah visi yang paling benar dan layak dipercaya. Hal inilah yang mendorong Hasina dan kader-kadernya di Liga Awami melakukan persekusi skala besar kepada pihak oposisi yang dianggap merongong cita-cita Visi 2073 yang menargetkan Bangladesh menjadi negara maju. Kerapkali, Hasina menggunakan instrumen kepolisian dan kehakiman untuk menutup peluang bagi para oposannya dalam memberikan wacana alternatif tentang masa depan Bangladesh. Ini terlihat dari bagaimana dua partai besar yang menjadi motor pergerakan oposisi di Bangladesh, Jamaat-e Islami Bangladesh dan Bangladesh National Party, diberikan larangan untuk melakukan aktivitas perpolitikan dan terlibat dalam pemilihan umum. Kader-kader dari Jamaat-e Islami Bangladesh bahkan dipidana kurungan penjara dan hukuman mati, karena dituduh terlibat dalam makar melawan pemerintahan Bangladesh dan turut serta menjadi kolaborator Pakistan dalam Perang Kemerdekaan Bangladesh pada tahun 1971 (Shah, 2016; Kumar, 2018). Hasina menebalkan benteng kuasanya juga dengan memastikan bahwa anggota keluarga dan seluruh kroni yang membantu konsolidasi kuasa politik dan ekonomi dinasti Hasina di Bangladesh untuk menjabat di berbagai jabatan publik dan korporasi di Bangladesh. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Al-Jazeera pada tahun 2021, Hasina membagi kuasa secara merata tidak hanya kepada anggota keluarga, tapi juga kroni-kroninya yang berada di militer, kepolisian, dan institusi peradilan. Salah satu skandal terbesar yang diungkap dalam investigasi tersebut adalah kroni Azis Ahmed yang merupakan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Bangladesh dan terlibat dalam banyak pembunuhan ekstrajudisial. Skandal ini menjadi episode pembuka bagi keruntuhan Hasina (Aljazeera, 2024).  Di tengah ekonomi Bangladesh yang serba tidak menentu karena inflasi dan pemulihan ekonomi paska-pandemi, Hasina justru memperumit petaka bagi rakyat Bangladesh dengan menetapkan aturan diskriminatif dalam rekrutmen pegawai negeri sipil. Aturan ini menegaskan bahwa keturunan dari pejuang kemerdekaan Bangladesh yang berada dalam barisan politik ayah Hasina, Mujibur Rahman, akan mendapatkan kuota khusus dalam rekrutmen tersebut. Aturan yang dibuat pada tahun 2024 ini

Perubahan Dinamis Sistem Produksi Global

Ekonomi global semakin tertata dengan adanya Global Value Chains (GVC) yang menyumbang peningkatan pangsa perdagangan internasional, Produk Domestik Bruto (PDB) Global, dan lapangan pekerjaan. Perkembangan GVC di berbagai sektor seperti elektronik, pakaian jadi, pariwisata, layanan jasa, dan komoditas, memiliki pengaruh yang signifikan dalam perdagangan global. Sistem produksi global adalah proses yang kompleks, dengan jutaan pekerja dan tempat kerja terintegrasi ke dalam beragam sistem lokal, nasional, regional, dan global (O’brien & Willams, 2016). Artikel ini akan menjelaskan bagaimana negara merespon perubahan dinamis sistem produksi global sejak munculnya pendekatan GVC. Selain itu, artikel ini juga akan mendiskusikan pengaruh territorial and network dynamics yang berlangsung pada skala global. Cara kerja GVC memungkinkan seseorang untuk memahami bagaimana industri global diatur dengan memeriksa struktur dan dinamika berbagai aktor yang terlibat dalam bisnis perdagangan. GVC menjadi metodologi yang dapat digunakan untuk melacak pola pergeseran produksi global, menghubungkan aktivitas dan pelaku industri yang tersebar di berbagai belahan dunia, serta menentukan peran negara maju dan berkembang di sektor perdagangan internasional (Gereffi & Fernandez-Stark, 2011). Pendekatan GVC menganalisis ekonomi global dari dua sudut pandang yaitu top down dan bottom up. Gereffi (2011) mendeskripsikan konsep top down adalah ‘tata kelola’ rantai global yang berfokus pada perusahaan dan organisasi industri internasional, sedangkan bottom up yaitu strategi yang digunakan oleh negara, wilayah regional, dan pemangku kepentingan ekonomi lainnya untuk mempertahankan atau meningkatkan posisinya dalam ekonomi global (Gereffi, 2011). Untuk merespon perubahan dinamis sistem produksi global sejak adanya GVC perlu melihat struktur produksi global ‘transnational corporation’ (TNC) memiliki andil yang cukup besar dalam penyebaran GVC ke negara-negara di dunia. Perubahan struktural dalam ekonomi global, kemudian transformasi bentuk organisasi dan strategi TNC, serta kebijakan pemerintah nasional disebabkan adanya globalisasi produksi (O’brien & Willams, 2016). Para pembuat kebijakan khususnya di negara-negara berkembang berusaha berpartisipasi ke dalam GVC untuk pembangunan ekonomi mereka. Agar dapat berpartisipasi dalam GVC, negara-negara memaksimalkan pemahaman mereka mengenai rantai produksi global, menganalisis mekanisme ekonomi pasar, serta mengidentifikasi kegagalan pasar yang kemudian menjadi evaluasi kebijakannya (Li, Meng, & Wang, 2019). Di Indonesia kebijakan TNC untuk mendirikan pabriknya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Kemenkeu, 2007). Dalam membuat kebijakan penanaman modal asing, negara-negara akan melihat kondisi komunitas lokal, karena mereka akan menggunakan sumber daya dari komunitas tersebut. Pemerintah Indonesia membuat peraturan yang ketat terhadap investasi asing, sedangkan ada negara-negara yang mengizinkan perusahaan asing beroperasi dengan leluasa seperti Singapura dan Hongkong (World Bank Group, 2020). Pemerintah suatu negara menggunakan peraturan nasional sebagai alat tawar-menawar agar TNC yang beroperasi di dalam negerinya selaras dengan tujuan nasional. Upaya pemerintah untuk mengatur kegiatan TNC dibawa ke politik internasional, host country, terutama negara berkembang mengusahakan aturan aktivitas perusahaan asing (Oatley, 2011). Pemerintah juga membuat regulasi untuk mempengaruhi aktivitas TNC, seperti yang lazim dilakukan oleh pemerintah adalah mengharuskan kepemilikan saham mayoritas oleh pemegang saham lokal. Pemerintah juga membatasi jumlah keuntungan yang diperoleh oleh TNC, serta mengharuskan adanya transfer teknologi ke host country. Pemerintah membatasi keuntungan yang dapat diambil oleh TNC untuk memastikan bahwa sebagian besar keuntungan yang dihasilkan tetap di dalam negara dan berkontribusi pada perekonomian lokal. Ini bisa dilakukan melalui kebijakan pajak yang lebih tinggi, pengaturan harga, atau regulasi lainnya. Peraturan seperti ini dapat mengurangi eksodus keuntungan ke luar negeri dan memastikan bahwa operasi TNC memberikan manfaat ekonomi yang signifikan kepada negara tuan rumah. Transfer teknologi diwajibkan untuk memastikan bahwa teknologi, pengetahuan, dan keahlian yang dimiliki oleh TNC dapat diakses oleh perusahaan lokal dan tenaga kerja di negara tuan rumah. Kemampuan teknologi dan kapasitas produksi lokal, mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang, dan mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing. Dengan membatasi keuntungan yang dapat diambil oleh TNC, pemerintah mungkin berusaha untuk mengkompensasi TNC dengan memberi mereka kesempatan untuk tetap beroperasi di pasar tersebut, asalkan mereka bersedia berbagi teknologi dan pengetahuan. Kedua kebijakan ini bekerja bersama-sama untuk memastikan bahwa kehadiran TNC tidak hanya menguntungkan perusahaan asing, tetapi juga mendorong pembangunan ekonomi domestik melalui keuntungan finansial yang diinvestasikan kembali dan peningkatan kapasitas teknologi lokal. Pada awal penyebaran produksi transnasional dianggap sebagai cara Amerika Serikat menciptakan hegemoninya setelah Perang Dunia II, untuk mencukupi permintaan konsumen Amerika Serikat membuka perusahaan cabang di negara lain untuk mencari rantai pasokan yang paling efektif dan paling murah (Bernard, 1994). Kebijakan negara dalam melonggarkan investasi asing menuai perdebatan mengenai kekuasaan negara dan TNC. Globalisasi produksi telah menciptakan situasi di mana negara kehilangan sebagian otoritasnya yang digantikan oleh TNC di berbagai bidang. TNC sebagai pemilik modal dalam ekonomi politik global yang meningkatkan kemampuan mereka untuk mempengaruhi sistem politik. Ketika perusahaan umumnya dibatasi dalam peraturan undang-undang nasional, TNC mengandalkan negara untuk mewakili kepentingan mereka di tingkat internasional. Saat ini, TNC menjadi aktor penting dalam ekonomi politik global dan dapat diperdebatkan bahwa, terkadang, pengaruh mereka bisa lebih besar daripada negara (Stopford & Strange, 1991). Negara tidak dapat menghindari keterlibatannya dalam GVC karena dunia sekarang sudah terglobalisasi dengan proses produksi sebagian besar telah terfragmentasi lintas batas negara (ADB & IsDB, 2019). 70% dari perdagangan internasional merupakan jual beli bahan mentah, suku cadang dan komponen. GVC telah membawa banyak manfaat kepada perusahaan untuk memaksimalkan produksi mereka secara efisien, serta mengakses pengetahuan dan modal di luar ekonomi domestik untuk mengembangkan bisnis mereka ke pasar baru (OECD, 2018). GVC juga telah memainkan peran penting dalam mengurangi kemiskinan dan memberikan kesempatan bagi negara berkembang untuk tumbuh dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju (World Bank, 2019). Refererensi AADB & IsDB. (2019). The Evolution of Indonesia’s Participation in Global Value Chains. Mandaluyong, Philippines: Asian Development Bank. Bernard, M. (1994). Post-Fordism, Transnational Production and the Changing Global Political Economy. In R. Stubss, & G. Underhill, Political Economy and the Changing Global Order. Basingstoke: Macmillan. Gereffi, G. (2011). Global Value Chains and International Competition. The Antitrust Buletin, 56(1), 37-56. Gereffi, G., & Fernandez-Stark, K. (2011). Global Value Chain Analysis: A Primer. Center on Globalization Governance & Competitiveness, 2-34. Kemenkeu. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia. Retrieved from Kemenkeu: https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2007/25TAHUN2007UU.HTM Li, X., Meng, B., & Wang, Z. (2019). Recent patterns of global production and GVC participation. Geneva: Global Value Chain Development Report 2019. McMicheal, P. (1996). Development and Social Change: A Global Perspective. Thousand Oaks, CA: Pine

Globalisasi Terfragmentasi: Meninjau Kembali Globalisasi Dewasa Ini

Sekira satu hingga dua dekade lalu, globalisasi adalah buzzword yang sering diungkapkan oleh para pejabat hingga pengamat. Berbagai seminar untuk menyiapkan diri menghadapi era globalisasi menjamur di banyak tempat. Hari ini, gairah masyarakat pada globalisasi tampak memudar. Meredupnya antusiasme atas globalisasi tidak hanya terjadi di dalam negeri. Sejak keruntuhan Uni Soviet yang ikut menggaungkan globalisasi di saat bersamaan, skeptisisme terhadap globalisasi sudah ada. Kekecewaan terhadap globalisasi juga sudah muncul di masa-masa itu. Kekecewaan yang mulanya muncul dari negara berkembang, meluas juga ke negara maju. Hanya saja, berbagai seri kekecewaan ini tertutup oleh optimisme terhadap globalisasi, mengingat kemajuan yang dibawa oleh globalisasi pun tidak sedikit (Stiglitz, 2002). Di tengah kepercayaan tinggi pada globalisasi pasca runtuhnya Uni Soviet, tantangan terhadap globalisasi juga tidak sedikit. Pada tahun 2001, selain tantangan keamanan global akibat serangan terorisme 9/11 di AS, liberalisasi perdagangan yang menjadi unsur penting dalam globalisasi juga mendapat hambatan dari kegagalan Doha Development Round dari WTO (The Doha Round, n.d.). Krisis Finansial Global tahun 2008 turut memperberat tantangan globalisasi, sebab negara-negara maju mengalami kesulitan ekonomi dan memperlambat arus kapital dari negara maju ke negara berkembang. Pandemi Covid-19 dan Perang Rusia-Ukraina turut memutar kembali pendulum globalisasi. Pandemi ini menghentikan arus orang, barang, dan jasa, tiga komponen penting dalam globalisasi dan menyisakan volatilitas dalam komponen terakhir, yakni arus kapital. Sementara, Perang Rusia-Ukraina telah mengembalikan pertimbangan geopolitik dalam prioritas kebijakan luar negeri negara-negara great powers. Akibatnya, globalisasi mengalami perlambatan (slowbalization) dan mendesak negara berkembang seperti Indonesia untuk beradaptasi dengan kondisi global yang seperti ini (Aiyar & Ilyina, 2023). Pertanyaan penting pun muncul di tengah situasi ini. Bagaimana kondisi globalisasi hari ini? Apakah globalisasi hari ini akan membentuk formasi baru yang berbeda dari yang selama ini kita pandang? GLOBALISASI TERFRAGMENTASI Melalui tulisan ini, saya berargumentasi bahwa globalisasi hari ini mengalami fragmentasi. Fragmentasi globalisasi terjadi dalam dua dimensi. Secara horizontal, globalisasi terfragmentasi dalam dua kubu utama ekonomi global, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok. Sementara itu, dalam masing-masing kubu, tercipta fragmentasi vertikal yang mencerminkan hierarki antar negara dalam sebuah jejaring ekonomi global. Kedua fragmentasi ini saling berkelindan hingga mempersempit ruang gerak negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada tingkat pertama, globalisasi mengalami fragmentasi horizontal antara dua kekuatan utama ekonomi global, yakni AS dan Tiongkok. Kebangkitan ekonomi Tiongkok menemui momentumnya pada Krisis Finansial Global 2008. Saat itu, di tengah kelesuan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, Tiongkok tetap tumbuh dengan percaya diri di atas 7% dan di tahun berikutnya berhasil menyalip Jepang menjadi negara dengan PDB Nominal tertinggi kedua di dunia. Hingga hari ini, meski pertumbuhan Tiongkok sudah mulai melambat, Tiongkok masih mempertahankan posisinya sebagai kekuatan ekonomi utama dunia bersama dengan AS. Sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, industri manufaktur Tiongkok tidak lagi hanya memproduksi untuk kebutuhan produsen dari negara lain. Lebih dari itu, industri Tiongkok hari ini sudah mampu memproduksi barang sendiri dan memimpin rantai nilai bagi negara-negara berkembang lainnya. Kemampuan Tiongkok untuk menjadi pengikut sekaligus pemimpin dalam rantai nilai global ini telah mengangkat posisi Tiongkok ke puncak hierarki rantai pasok global. Di saat bersamaan, AS merespon negatif kebangkitan Tiongkok ini. Di masa kepresidenan Donald Trump, AS meuncurkan Perang Dagang dengan Tiongkok karena merasa dirugikan oleh praktik produksi offshoring perusahaan AS di Tiongkok. Trump pun menyerukan reshoring produksi di AS dengan memanggil kembali perusahaan-perusahaan AS untuk membuka pabriknya di AS (Majiid, 2020a). Di masa Joe Biden, meski strategi Perang Dagang diperlunak, kebijakan industri yang diluncurkan juga menargetkan pelemahan industri Tiongkok, terutama yang berkaitan dengan teknologi tinggi seperti microchip dan kecerdasan buatan (Majiid, 2023). Fenomena ini membuat adanya fragmentasi horizontal dari globalisasi arus barang dan kapital. Negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih kecil dihadapkan pada dilema antara industri AS atau Tiongkok. Memang, di atas kertas, tidak ada kebijakan resmi untuk saling mengeksklusi antara AS dengan Tiongkok. Hanya saja, dalam praktiknya, rantai nilai dalam jejaring produksi global mengarah pada kecenderungan untuk either China or the US, yang dalam pandangan Petri dan Plummer disebut sebagai friend-shoring (Petri & Plummer, 2023). Dalam masing-masing kubu horizontal ini, terbentuk juga fragmentasi vertikal dalam hierarki rantai nilai global. Negara pemilik teknologi tinggi termutakhir akan memimpin rantai nilai. Sebab, dalam produksi sebuah barang, penilaian utama ada pada nilai tambah yang dihasilkan dalam proses produksi. Semakin tinggi nilai tambah, maka semakin tinggi pula kontribusinya pada PDB negara tersebut. Dengan begitu, akan semakin kuat pula daya tawar dia dalam jaringan produksi global. DILEMA NEGARA BERKEMBANG Bagi negara berkembang, fragmentasi globalisasi baik secara vertikal maupun horizontal akan mempersulit posisinya dalam ekonomi internasional. Di satu sisi, negara berkembang tidak memiliki daya tawar tinggi untuk meningkatkan posisi vertikalnya dalam hierarki globalisasi jika hanya bergabung dalam satu kubu fragmentasi horizontal. Di sisi lain, berada di kedua kubu akan meningkatkan ongkos politik maupun ekonomi untuk menyeimbangkan kepentingan AS dan Tiongkok. Ambil contoh dalam produksi mobil listrik. Hari ini, Tiongkok memimpin produksi kendaraan listrik global. Dalam laporan terbaru International Energy Agency tahun 2024, sejak tahun 2016, Tiongkok sudah menjadi produsen utama kendaraan listrik global, baik dalam bentuk hibrida tersemat (PHEV – Plug in Hybrid Electric Vehicle) ataupun baterai penuh (BEV – Battery Electric Vehicle). Di tahun 2023 saja, Tiongkok memproduksi 21,9 juta kendaraan listrik, dengan masing-masing 16,1 juta BEV dan 5,8 juta PHEV, meninggalkan Eropa dengan produksi 6,7 juta BEV dan 4,5 juta PHEV maupun AS dengan 3,5 juta BEV dan 1,3 juta PHEV (Trends in Electric Cars – Global EV Outlook 2024 – Analysis, 2024). Untuk memproduksi sebuah kendaraan listrik, suatu negara tidak bisa hanya mengandalkan pasokan sumber daya dari dalam negeri saja. Mereka harus membentuk rantai pasok lintas negara. Masing-masing simpul pada rantai tersebut akan menghasilkan satu komponen yang memiliki nilai tambah tertentu hingga nantinya akan dirangkai menjadi sebuah produk jadi yang utuh. Tingkatan pada hierarki yang terbentuk akan bergantung pada seberapa besar tiap simpul produksi menghasilkan nilai tambah. Negara yang menghasilkan mesin, misalnya, akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar ketimbang negara yang hanya menghasilkan bautnya. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menarik investasi baik dari Tiongkok maupun AS. Hanya saja, hingga hari ini, investasi dari Tiongkok tampak lebih dominan ketimbang AS, mempertebal posisi Indonesia dalam fragmentasi horizontal dalam kubu Tiongkok. Sayangnya, dalam fragmentasi vertikal ini,

‘New Dilemma’: Controversy on Granting Permits for Religious Mass Organizations to Manage Mining Businesses

There is an amendment to the Government Regulation that has been stipulated by President Jokowi regarding the implementation of mineral and coal mining business activities, which results in a ‘New Dilemma’. Previously, this regulation was regulated in Government Regulation No. 96 of 2021, but now it has changed to Government Regulation No. 25 of 2024, which was stipulated on May 30, 2024 (BPK, 2024). The amendment to this regulation is stated in Article 83A Paragraphs 1–7 of The Government Regulation No. 25 of 2024, which regulates the granting of authority and priority for Special Mining Business Permit Areas, or “Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus” (WIUPK), to Religious Mass Organizations, which can be considered Civil Society Organizations (CSOs). The implementation of the Government’s authority aims to empower and improve the welfare of the community (Indonesia, 2024). However, this policy has generated controversy between the pros and cons among the communities of Religious Mass Organizations and civil society. Pros and Cons Pros The pro side considers that this policy will have a positive impact. Some examples of Religious Mass Organizations that are well-known and respond positively to this policy are The General Chairman of the Executive Board of Nahdlatul Ulama (NU), Gus Yahya, and The Deputy Chairman of Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas. They stated that this policy is a new innovation that can be used as a source of income for Religious Mass Organizations, and it is hoped that they can carry out their functions to bring about public welfare (Sakti Wira Yudha, 2024). Cons The cons are divided into two (2) categories: Firstly, there are Religious Mass Organizations that are still alert and careful, such as Muhammadiyah Organization will look their capabilities first before implementing this policy (Marta, 2024). Secondly, there are some Religious Mass Organizations that have refused this policy because they think that it will have a negative impact, such as Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), and many other Mass Organizations (Costa, 2024). Concerns Regarding to this Policy Some Religious Mass Organizations oppose this policy because they have several concerns and several things to worry about, namely, as follows: Firstly, this policy will neglect their main function as Religious Mass Organizations (Sakti Wira Yudha, 2024). It is feared that the participation of Religious Mass Organizations will be more likely to be oriented towards the economic sector, prioritizing business profits over their original vision and mission in the religious and social sectors. The organization will neglect its purpose of spreading and strengthening the understanding of religious values and realizing social justice and community welfare. Thus, it will reduce public trust in the electability and popularity of Religious Mass Organizations. Secondly, this policy will trigger conflicts between mining management Religious Mass Organizations and indigenous peoples when there are religious or opinion differences between these two sides. Thus, it will lead to tribal, religious, racial, and intergroup conflicts (Lolindu, 2024). Thirdly, this policy is considered inadequate for its capabilities when handed over to Religious Mass Organizations. This is due to the limitations of Mass Organizations in understanding and experience in managing high-risk mines. One of the purposes of Religious Mass Organizations should be to protect the environment, but due to the mismanagement of mines by inappropriate parties, it will cause environmental damage and have the potential to harm the Indonesian economic sector (Irsyad, 2024). ‘Innovative Solutions’ or ‘New Risks’? The amendment policy that have been established by President Jokowi have generated controversy, both pros and cons. On the one hand, this policy does have an ‘Innovative Solution’ because it is considered to be able to utilize the economic potential of Religious Mass Organizations and can manage the welfare of the community. However, on the one hand, it creates ‘New Risks’ when we look at the whole controversy, both pros and cons. The implementation of this policy is more likely to have ‘New Risks’ than ‘Innovative Solutions’. The author argues that the implementation of this policy will trigger abuse of power because this policy can be considered as ‘Patronage Politics’ or ‘Politik Bagi-bagi Kue’ (Carina, 2024). This political practice implemented by dominating and allocating the power over resources that are only distributed to certain groups, so this will have a negative impact on the mining industry in Indonesia. This potential abuse of power can lead to corruption, nepotism, injustice and reduced public trust in the Government and Religious Mass Organizations. The author also argues that this policy will trigger the ‘Politicization of Religion’, one of which is by strengthening the political support of several religious groups that have a large mass to influence and control public opinion (Nadeak, 2024). Indirectly, it’s triggered ‘Oligarchy’ and ‘Reciprocal Politics’ between the Government and Religious Mass Organizations. And, if we remember that the granting of this permit was initiated by President Jokowi’s promise to Nahdlatul Ulama (NU) would provide Mining Business Permits, such as for the coal and nickel mining sectors, in December 2021 during Nahdlatul Ulama (NU) Congress (Suhamdani, 2024). There is a political influence in granting mining permits, and it can be used as a ‘tool’ to strengthen political power. This policy will result in the embezzlement of mining funds, unfair granting of mining permits and contracts to companies because they will be based on a strong patronage relationship or close relationship with the Religious Mass Organizations. In addition, this policy will lead to reduced transparency, and accountability due to the lack of a strict monitoring mechanism for gold mining activities. Efforts to Prevent ‘New Risks’ and Realize ‘Innovative Solutions’ In order to avoid the controversy of this policy, the Government should make more detailed regulations on how Religious Mass Organizations in mining management technically, practically, and managerially. This can be done by the Government in several ways, namely as follows: First, conduct the technical and managerial training in mining management for Religious Mass Organizations. Second, collaborate or cooperate with several educational institutions and international institutions by providing

Kedaulatan Data Digital di Tengah Interkonektivitas Global

Keberadaan internet telah mengubah gaya dan pola hidup masyarakat global. Internet tidak lagi digunakan sebagai media untuk komunikasi dan berbagi informasi, namun telah menjadi jejaring data yang masif, yang tidak hanya menghubungkan individu dari berbagai negara, namun juga sebagai penyimpanan data, mulai dari data informasi umum hingga informasi pribadi. Pengumpulan data-data tersebut pada akhirnya juga mampu mendorong peningkatan layanan bagi tiap individu, mulai dari layanan pesan antar, angkutan panggilan (ride hailing), hingga layanan kesehatan. Kenyamanan penggunaan layanan tersebut bahkan telah mampu melewati batas wilayah negara mengingat operasional internet yang berskala global, sehingga mampu diakses di mana pun dan kapan pun. Meski begitu, semakin masifnya jumlah data yang diunggah ke dalam jaringan internet, tentu saja ini menimbulkan pertanyaan: seberapa aman data yang telah diunggah ke jaringan internet global, terutama terkait data pribadi maupun data rahasia nasional? Dan apa yang dapat dilakukan untuk mengamankan data-data tersebut? Pentingnya Keamanan dan Kedaulatan Data Masalah keamanan data bukanlah isu baru yang tiba-tiba mendapatkan perhatian khalayak umum. Salah satu contoh yang banyak terjadi adalah bagaimana data-data pribadi yang dibagikan untuk mengakses layanan pinjaman online (pinjol) dan tersimpan dalam database perusahaan tersebut, kemudian disalahgunakan untuk penagihan yang mengintimidasi, penyebaran data pribadi kepada pihak lain, tindakan penipuan menggunakan data pribadi, hingga kasus pelecehan seksual melalui media elektronik (Butarbutar & Nurmawati, 2023). Pemanfaatan data pribadi pelanggan juga kerap kali diperjualbelikan untuk bertukar informasi pelanggan untuk kemudian menjadikannya sebagai target promosi ataupun tindakan lainnya (Hisbulloh, 2021). Tidak hanya penyimpanan data pribadi yang disimpan pada pihak ketiga saja, bahkan penyimpanan data pribadi pada database pemerintah juga dapat mengalami kebocoran seperti pada kebocoran data pribadi masyarakat Indonesia dari Dukcapil Kementerian Dalam Negeri RI pada 2023 lalu (CNBC Indonesia, 2023). Data-data pribadi yang tersebar tersebut menjadi lebih sukar terkendali dan terlindungi ketika melihat lokasi server penyimpanannya, yang dapat tersebar di berbagai lokasi di dunia. Hal ini tentu saja membuat data-data tersebut semakin sulit untuk dimonitor dan dijaga agar tidak disalahgunakan. Keberadaan data tersebut menjadi bagian esensial dalam hal privasi maupun keamanan nasional, yang pada akhirnya membawa isu terkait kedaulatan data. Dengan berbagai teknologi dan infrastruktur berbasis data yang semakin mendominasi di berbagai lini kehidupan, keberadaannya menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Semakin besarnya ketergantungan kehidupan terhadap data tersebut, tentu saja akan meningkatkan kerentanan akan penggunaan data-data tersebut oleh pihak asing untuk mempengaruhi aktivitas, preferensi/persepsi publik, hingga arah kebijakan yang dirumuskan suatu negara. Hal ini semakin meresahkan ketika melihat banyak server dari data-data tersebut berlokasi di negara lain yang berada di luar yurisdiksi pemerintah domestik. Secara politik, data-data tersebut dapat dimanfaatkan untuk menganalisis karakteristik berbagai kelompok masyarakat yang ada di suatu negara, menetapkan target operasi mata-mata, hingga memanfaatkannya untuk menyebarkan propaganda ataupun bot sosial di berbagai platform media elektronik (Shorey & Howard, 2016). Upaya Menjaga Kedaulatan Data Melihat pentingnya kedaulatan data, tidak heran sejumlah negara yang berfokus pada perlindungan data dari masyarakat negaranya dan bahkan mendorong pemindahan server ke wilayah yurisdiksi negara tersebut. Salah satu yang cukup terkenal menjaga ketat kedaulatan datanya adalah Tiongkok melalui kebijakan penyimpanan data, di mana seluruh data yang dihasilkan dari aktivitas individu maupun bisnis di wilayah Tiongkok harus tersimpan dalam database yang berlokasi di negara tersebut. Di sini, pemerintah juga memiliki kewenangan untuk akses penuh terhadap seluruh data tersebut, mengingat kepentingan negara memiliki posisi di atas kepentingan individu, kelompok, ataupun institusi (Wishart-Smith, 2023). Posisi ini semakin dipertegas dengan adanya Cyberspace Agency of China (CAC) yang berfungsi sebagai badan pengambil kebijakan terkait keamanan siber, memiliki kekuatan dalam pengawasan konten daring, serta bertanggung jawab atas perlindungan data pribadi di Tiongkok (Kuo, 2023). Strategi serupa juga dijalankan oleh Rusia melalui Information Security Doctrine 2016 yang memfokuskan pada pengembangan kemandirian industri domestik pembuatan, pemutakhiran, dan implementasinya pada pembangunan nasional, termasuk pada sektor informasi dan teknologi seperti pada pengamanan data perbankan. Hal ini kemudian diperkuat dengan adanya Law on Sovereign Internet di 2019 yang menyentralisasikan kontrol internet dan menggantikan ketergantungan layanan teknologi dan informasi asing dengan layanan domestik (Zinovieva & Yajie, 2023). Meski begitu, permasalahan keamanan data ini menjadi lebih krusial dengan semakin banyaknya data pribadi yang diunggah baik ke dalam layanan pemerintah maupun pada pihak ketiga untuk layanan digital. Uni Eropa merupakan salah satu yang menjalankan kebijakan perlindungan data pribadi yang cukup ketat melalui kebijakan General Data Protection Regulation (GDPR) yang berfokus pada perlindungan dan kontrol terhadap data pribadi yang dimiliki oleh masing-masing individu, serta kewajiban masing-masing perusahaan untuk menerapkan standar perlindungan data privasi tersebut dalam wilayah yurisdiksi Uni Eropa (European Council , n.d.). Tidak hanya itu, AS juga tengah memberikan tekanan yang kuat terhadap perusahaan ByteDance untuk menjual aplikasi TikTok pada perusahaan AS. Hal ini dikarenakan banyaknya data pelanggan TikTok dari AS dapat digunakan oleh pemerintah Tiongkok (negara asal ByteDance) untuk mengumpulkan data sensitif AS dan dimanfaatkan untuk menekan AS, karena dimungkinkannya pemerintah Tiongkok untuk mengambil data dari perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah yurisdiksinya (Chander, 2022). ByteDance bahkan diberikan tenggat waktu 9 bulan untuk divestasi kepemilikannya di TikTok oleh pemerintah AS, dan apabila gagal memenuhinya maka TikTok akan dilarang beroperasi di AS (Porter, 2024). Selain dilakukan oleh negara adikuasa, upaya perlindungan kedaulatan digital ini juga terus dikembangkan sejumlah negara berkembang. Tercatat India merupakan salah satu negara yang vokal terhadap perlindungan data nasional, terutama melalui penolakannya pada proposal “Osaka Track” dalam rangkaian negosiasi kesepakatan G20 di Osaka pada 2019, bersama-sama dengan Afrika Selatan dan Indonesia. Salah satu poin di dalamnya adalah penyiapan framework ekonomi digital dengan mendorong pergerakan bebas data antar negara dan menghapuskan lokalisasi data di masing-masing negara. Di satu sisi, hal ini akan mempermudah gerak data secara global, sehingga semakin mempermudah integrasi berbagai layanan bisnis digital lintas batas negara. Namun, di sisi lain data yang tersedia di suatu negara memiliki potensi luas mulai dari masalah keamanan hingga potensi besar untuk memperkuat industri teknologi (Pourmalek & Luo, 2023). Indonesia juga tidak ketinggalan dalam upaya pengamanan data digital nasionalnya. Hal ini terlihat melalui regulasi Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 yang salah satu poinnya mengatur tentang kewajiban penggunaan data center yang berlokasi di Indonesia untuk penyimpanan dan pengelolaan data oleh institusi pemerintah maupun swasta. Meski begitu, banyak pihak kemudian mengkritisi adanya kemunduran

Paradigm-Shifting: World Reality and Power Domination

History is written by the war victors and they have the dominating power to orchestrate the truth that circulates. The winner gets the right to call himself a super hero. Meanwhile, those who lose must assume the label of Villain. So, what if the second world war was won by Hitler? and the Soviet Union was the winner of the cold war? through this view, it would be understandable for Kim Jong Un to be a hero and role model for his people in North Korea. Now, let’s try to stretch our imagination a little wider, not only in terms of national politics but internationally. Can we still believe that we are individuals who have independence of thought ? or are we the product of the truth portrayed by the owners of the dominant power in international politics today? Civilisation is governed and led by the dominant power. If the world has two dominant powers, there will be a struggle for dominance. But if the world has only a single dominant power, it will be the ruler and catalyst for world civilisation. Indeed, the two dominant paradigms in International Relations – Realism and Liberalism – believe that the reality of the world falls under the scientific pattern described by their paradigms. Liberalism views the world with optimism since it believes that basic human instincts are good and believes that international actors have a tendency to cooperate and collaborate. Meanwhile, Realism views the world with pessimism since it believes that every international actor always thinks rationally and prioritises the struggle for power (Rosyidin, 2022). In reality, the values of liberalism have the endorsement of the world’s current dominant actor, the United States. The end of the cold war signalled that the United States became the world’s sole superpower and thus the values of liberalism attached to it became the world’s main source of reference through its power relations. Through its dominance, the United States and western countries confidently campaign for the values of liberalism throughout the world. However, the reality of this decade shows that the world today is a lot more logical when viewed through the lens of realism than liberalism. It is quite difficult to perceive optimistically the power-oriented world politics. In fact, countries that proclaim themselves to embrace liberalism are now increasingly showing themselves to be part of the realist actors. On the one hand they campaign for the value of liberalism, but on the other hand they act as described by realism. The spread of ideas such as freedom, equality, democracy, and human rights by western countries to the world has become a lip-service as the words and practices are contradictory. The facts show that the world’s dominant actors are currently denying the various forms of values that they promote throughout the world. The policy of selective judgement and double standards is increasingly being applied by United States and Western countries (Ayyash, 2023). United States and its allies easily condemn Russia’s intervention against Ukraine, but at the same time they are reluctant to condemn Israel for attacking Palestine (Wintour, 2023). United States, which often places itself as the international police, is in fact powerless in the face of various violations of international law committed by Israel. It is extremely difficult for the United States to declare that Israel has committed genocide against the Palestinians even though various indicators that lead to it have been fulfilled. They are not only turning a blind eye to the ongoing occupation, but more than that, they are contributing in supporting the genocide and occupation by Israel against the Palestinians (Al Jazeera, 2024). The attitude of United States and Western countries that tend to be realist is being shown wide open at the moment. However, this attitude is in fact nothing new, but simply reinforces the thesis that international actors are rational actors and fight for power in order to exist in an anarchic environment. This hypocrisy has in fact been going on since the beginning of the end of the cold war (the beginning of United States’ sole dominance). During the 1990s, while the dominant international actors began to campaign to abolish colonialism in the world and fight for liberal values, at the same time they failed repeatedly to stop various genocides that took place in the world, such as: Herzegovina, Bosnia, Rwanda and Somalia (Ahmad, 1998) (Human Right Watch, 1995) (International Affairs Forum, 2024) (Najeeb, 2022). The majority of countries within the United Nations tend to remain silent when these injustices occur, as if anything can happen as long as they are safe and not endangered. Currently, the United Nations is trapped in the process towards its failure to prevent the umpteenth genocide (Israel against Palestine). In fact, Power is still the main instrument in directing international policy, as carried out by the US through its veto in the United Nations to support Israel (Al Jazeera, 2024). During the 2000s, power still played a major role in legitimising various unfavourable actions (favouring one and harming the other). If the law requires evidence in making accusations, this does not apply to United States, exercising its power, it can freely impose accusations and actions on anyone even with a one-sided claim (without evidence). On 19 May 2003, the US sent troops to Iraq to overthrow Saddam Husain’s regime and destroy any weapons of mass destruction (WMD) (Council on Foreign Relations, 2024). Saddam Husain’s regime fell in 2003, but the operation continued for 8 years and the invasion ended with no evidence that Iraq had weapons of mass destruction (WMD). This proved that the US had made false accusations to legitimise its operation against Iraq. However, 300,000 lives were lost, precious historical relics were destroyed, and civilians are still displaced from their homes (Duggal, 2023). Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (Lazarski, 2023). In fact, trias politica applied in a democratic government remains unable to eliminate corruption. Even democratic systems equipped with the trias politica system sometimes produce oligarchic governments and authoritarian governments. It stands to reason that an anarchic international

Navigating the Future: UNHCR Strategies in Addressing the Rohingya Refugees Crisis in Indonesia

Hundreds of Rohingyas have landed on the coast of Weh Island, Sabang, Aceh. They landed at Batu Hitam Beach, Jurong Keuramat, Gampong Ie Meule. They consisted of adults and children, both men and women. These Rohingyas want to be treated as refugees even though according to the Immigration Act, their presence is illegal as they did not use valid travel documents and did not enter through immigration checkpoints. The Acehnese people around the coast are also busy rejecting the presence of the Rohingyas and asking them to return to their place of origin in Myanmar. The wave of Rohingya arrivals to Indonesia through Aceh began in 2015. In the first wave of arrivals, they received assistance from Acehnese fishermen. The Rohingyas seek a livelihood in Indonesia and some of them often lead to social conflicts with the people of Aceh and Indonesia in general. Before coming to Indonesia, they targeted Malaysia as a place to earn a better living. In Malaysia, the Rohingya migrants were able to find work because a number of Malaysian companies needed manual laborers with competitive salaries. However, the Malaysian people and government have not wanted the Rohingya migrants from Myanmar to come for the past few years. The reason is that the Rohingyas often create social conflicts with local residents and criminal acts committed by some of the Rohingyas. However, the Malaysian people and government have not wanted the Rohingya migrants from Myanmar to come for the past few years. The reason is that the Rohingyas often create social conflicts with local residents and criminal acts committed by some of the Rohingyas. Actually, the presence of Rohingyas is not Indonesia’s business. Indonesia should not treat the Rohingya as refugees since it is not a party to the 1951 Refugees Convention. If the Rohingyas are to be treated as refugees, this is a matter for UNHCR, and Indonesia should only assist wherever possible given that the Rohingyas are currently in Indonesia. The extent of Indonesia’s assistance is stipulated in Presidential Regulation No. 125/2016 on the Handling of Refugees from Abroad. Introduction Fleeing from ethnic persecution committed by the Myanmar military junta and local Buddhist extremists in the Rakhine State, thousands of Muslim Rohingya traversed hundreds of kilometers of dense forests and embarked on perilous voyages across the Bay of Bengal to seek refuge in Bangladesh. Currently, over 960,000 individuals have sought refuge in Bangladesh, with the majority residing in Cox’s Bazar, the site of the largest refugee camp globally (Rohingya Refugee Crisis Explained, n.d.). Facing uncertainty about their future in Cox’s Bazar, thousands of them have risked their lives to cross vast, treacherous seas in crowded, dilapidated boats with the hope of resettling in another country. They are willing to take such a risk, hoping to join many of their undocumented community members in economically developed neighbouring countries, notably Malaysia (MMC, 2021) . Over the last decade, waves of Rohingya boat people have managed to reach the coastal shores of Aceh, a province of Indonesia located in the northern tip of the Malacca Straits. Initially, the Acehnese and provincial government accepted and welcomed the arrival of the Rohingya refugees, believing that these refugees would only stay in the country temporarily. UNHCR said that since November 2023, 1.200 Rohingya have landed in Aceh. UNHCR noted that the total number of refugees in Aceh so far has reached 1.608, including 140 people who stayed in the past year (BBC, 2024). The facilities and assistance provided by the Indonesian government to Rohingya refugees in Aceh are shelter, food assistance, health care, clean water assistance, sanitation, psychosocial support, and other basic assistance (Darnela and Nugroho, 2017). With this, Rohingya refugees are greatly helped to fulfill their needs. Although the Indonesian government will still prioritize the interests of the local community (Kompas, 2023).   Nonetheless, the presence of Rohingya refugees currently triggers intense debate among the Indonesians.  The arrival of Rohingya refugees in Aceh was rejected by the people of Aceh. The people of Aceh have their own reasons for refusing to give refuge to the Rohingya immigrants. The reason is that Rohingya migrants are said to give a bad impression to the community. Rohingya refugees give the impression of bad behaviour and actions and are not in accordance with the customs and norms of village regulations. In addition, they are also unable to maintain cleanliness and do not heed Islamic law and customs among the community. The Ministry of Foreign Affairs said Indonesia does not have a regulatory obligation to accommodate refugees. This was done on humanitarian grounds (Rahayu, Anam, and Dewanto, 2023). Significant numbers of Acehnese refuse to accept these refugees, claiming that they often cause trouble. Many of these refugees were embroiled in petty theft, throwing people’s aid into the sea, leaving refugee camps, disobeying local community norms and customs, and abusing underage children (Tusriyanto et al, 2023). UNHCR has predicted that a wave of Rohingya refugees will soon enter Indonesian waters. There are several actions that UNHCR has taken so far in dealing with Rohingya refugees in Indonesia. Apart from fulfilling humanitarian needs, they also provide protection to the people from Myanmar. Many Rohingya refugees need food, water, shelter, education and health assistance. UNHCR also plays a role in facing challenges in the form of potential friction between refugees and the people in Indonesia. UNHCR also registers refugees, provides protection and legal assistance, and prevents gender-based violence. In addition, UNHCR also ensures the provision of adequate shelter, health care and sanitation, supports education and skills development, finds livelihood opportunities, and distributes aid. They claim to be involved in several dialogs to ensure a voluntary and safe return process. UNHCR plays a role in monitoring and finding solutions to problems, in addition to being an initiator, facilitator, and determinant. This is the role that UNHCR plays in handling refugees in Indonesia. UNHCR’s Compassionate Response to the Rohingya Refugees Crisis The UNHCR and its partners are currently providing active assistance in addressing the humanitarian and protection requirements of Rohingya

Logika di Balik Perang Total Israel ke Gaza

Pembantaian Zionis Israel sejak 7 Oktober 2023 telah membunuh hampir tiga puluh ribu warga Gaza yang tak berdaya dan tak bersenjata. Hampir setengah yang tewas itu dari kalangan anak – anak dan Sebagian besarnya adalah warga sipil. Rumah – rumah, tempat ibadah, tempat pengungsian, dan fasilitas publik yang lain juga rata oleh serangan – serangan rudal Israel. Ada harapan saat terjadinya gencatan senjata di mana antara kedua belah pihak saling tukar menukar tawanan dan bantuan – bantuan masuk ke Gaza 24 – 30 November 2023. Namun, Israel melakukan serangan intensif kembali saat gencatan senjata berakhir baik melalui udara maupun darat. Serangan Israel belum memperlihatkan tanda – tanda berhenti meskipun kecaman dari banyak negara, gerakan sipil dan tokoh sudah banyak diperlihatkan. Afrika Selatan juga sudah mengajukan awal tahun 2024 ke Pengadilan Internasional (International Court of Justice) untuk memperkarakan Israel sebagai pelaku pelanggaran Genosida di Gaza (Corder, 2024). Pemerintah Zionis Israel telah berulang kali mengutarakan bahwa perang ini harus berakhir dengan hancurnya Hamas sehingga kelompok ini tidak punya kekuatan lagi yang bisa meneror Israel meskipun harus memakan waktu berbulan – bulan (NHK World, 2023). Yoav Gallant, Menteri Pertahanan Israel mengungkapkan “ “Hamas is a terrorist organization that built itself over a decade to fight Israel, and they built infrastructure under the ground and above the ground and it is not easy to destroy them,”… “It will require a period of time — it will last more than several months, but we will win and we will destroy them.”(Fabian & Staff, 2023). Saat terjadi gencatan senjata, Gallant menegaskan Kembali “There will be a short pause and then we will continue operating with full military power. We will not stop until we achieve our goals: the destruction of Hamas and bringing home the hostages from Gaza to Israel” (Reuters, 2023). Israel juga sudah mendesain rencana pemerintahan pasca perang di Gaza yaitu tidak akan ada lagi HAMAS di situ dan Israel yang akan mengontrol Gaza serta akan melakukan operasi pembersihan terhadap segala ancaman di Gaza terhadap Israel dalam berbagai bentuknya (Al Jazeera, 2024). Bukan hanya Israel tapi Amerika Serikat untuk pertama kalinya sejak perang terakhir tahun 1973 sangat terlihat serius menopang Israel dari berbagai sisi: di PBB, bantuan finansial dan militer termasuk mengerahkan kapal perangnya di laut Mediterania. Bahkan selama perang yang dimulai Oktober itu saja, AS telah mengajukan dua kali bantuan untuk Israel ke kongres AS (Associated Press, 2023; Lee, 2023). Pendekatan perang total yang dilakukan oleh Israel dalam perang ini mengindikasikan betapa seriusnya ancaman dari HAMAS dan betapa takutnya Israel saat HAMAS menjadi lebih kuat. Terlebih HAMAS hanyalah sebuah kelompok tapi mampu memberikan terapi kejut buat sistem pertahanan Israel bahkan menggemparkan politik domestik Israel.Bagi kepentingan strategis Israel di Timur Tengah, HAMAS dan kapasitasnya jelas adalah sebuah ancaman nyata yang jika tidak diaborsi habis – habisan maka akan menjadi alarm kematian bagi Israel dalam waktu dekat. Jika kita merunut ke politik Timur Tengah beberapa tahun terakhir ini, Israel dan AS terlihat lega setelah melakukan normalisasi dengan beberapa negara Arab: Bahrain, Uni Emirat Arab, Maroko dan Sudan. Potensi normalisasi dengan Arab Saudi juga semakin terbuka. Ini seolah menjadi angin segar bagi Israel bahwa musuh – musuhnya dalam level negara akan semakin berkurang dan peluang untuk meminimalisir musuh – musuh dari kelompok militant dapat ditangkal melalui Kerjasama Arab-Israel (Vakil & Quilliam, 2023). Israel memang sejak awal berdiri tahun 1948 sampai sekarang selalu tidak aman sebab dikelilingi oleh negara-negara musuh termasuk masyarakat yang antipati. Itulah sebabnya entitas zionis ini membangun negaranya dan segala bentuk kebijakan yang bertumpu pada kepentingan keamanan dan eksistensinya (Ministry of Foreign Affairs, 1969). Wajar jika ada rasa lega dan “menang” pasca normalisasi. Namun, semua impian itu buyar saat HAMAS dan Jihad Islam melakukan serangan di pagi hari. Israel yang terlihat kuat terlihat tak berdaya diinfiltrasi oleh ratusan pasukan pejuang Gaza. Israel tak menyangka, ditengah “euphoria” normalisasi, HAMAS ternyata memperkuat diri dan berhasil mematangkan strategi. Israel kaget, warganya berhamburan meninggalkan negara. Elit politik saling serang dan menyalahkan. Serangan bersejarah Sabtu 7 Oktober memberi pesan pada Israel bahwa perlawanan dan musuh tidak bisa betul-betul dihancurkan. Sehingga respon terhadap para musuh ini wajib perang semesta.Itulah mengapa, Netanyahu (2023), di hari serangan menyatakan kita sedang dalam kondisi perang. “Citizens of Israel, we are at war. Not an operation, not a round [of fighting,] at war! This morning Hamas initiated a murderous surprise attack against the state of Israel and its citizens” (Toi Staff, 2023). Hanya 6 hari pasca serangan Hamas, 6000 bom dengan berat 4000 ton diledakkan di Gaza. Menurut al-Jazeera (2023) bom itu sama jumlahnya dengan bom yang diledakkan AS di Afghanistan selama setahun (Al Jazeera, 2023). Hamas memang layak dianggap ancaman serius oleh Israel dan harus dihapuskan cepat atau lambat. Kelompok ini terbukti mampu memperkuat diri dengan kemampuan persenjataan yang bisa merepotkan Israel; mampu menyiapkan ribuan rudal sampai Tel Aviv, termasuk menembus sistem pertahanan Iron Dome Israel, dan mengacaukan komunikasi militer Israel. Ditambah kemampuan manajerial kelompok ini dalam menggalang bantuan logistik untuk membangun persenjataan, basis militer bawah tanah, dan berbagai pelatihan militer terhadap anak – anak muda Palestina (Nakhoul, 2023). Dalam konteks geopolitik, secara geografis wilayah kekuasaan Israeli sangatlah kecil, hanya 22.000 km persegi dengan lebar tersempitnya berjarak 15 Kilometer dan Sebagian besar tumpuan industri, aktifitas komersial dan sosial negara ini terpusat di daerah pantai sepanjang 100 km (Pinfold, 2023). Selain itu, jarak Gaza ke Tel Aviv saja hanya kisaran 72 km. Sementara HAMAS memiliki kekuatan rudal jarak pendek 8 km sampai mencapai Israel bahkan sampai lebih 200 km jaraknya (Champelli, 2023). Letak geografis yang kecil ini akan membuat Israel dan fasilitas strategisnya rentan serangan.Dalam pandangan Israel, saat Hamas pada perang kali ini mampu menembus Israel baik senjata maupun personilnya, maka jika tidak dimusnahkan secara total sampai ke akarnya, bisa jadi tahun – tahun ke depan HAMAS akan semakin kuat, Ini dapat berarti lonceng kehancuran bagi Israel. Inilah alasan dibalik strategi perang total tanpa henti Israel terhadap Hamas dan Gaza. Daftar Pustaka Al Jazeera. (2023, October 12). Israel says 6,000 bombs dropped on Gaza as war with Hamas nears a week. Al Jazeera. https://www-aljazeera-com.translate.goog/news/2023/10/12/israel-says-6000-bombs-dropped-on-gaza-as-war-with-hamas-nears-a-week

Netanyahu returns to Power, What to Anticipate?

Israel has just held the parliamentary election of 2022. Far-right parties won a majority seat in the Knesset and ousted the incumbent centrist coalition led by Yair Lapid. This situation may result in the projection of the return of Benjamin Netanyahu to power.  Palestinian citizens and government will face a hard time during the Netanyahu-led government. His gains are prompted by the rise of far-right Israeli voters. However, his win might be expected by Middle Eastern countries as a balance of power with Iran. While his cabinet will more likely receive criticism from the US.  The legislative election of 2022 prevented the Likud Party (Netanyahu’s party) or Yesh Atid (Yair Lapid’s party) from gaining the majority seat of the Knesset or 61 seats. However, Likud merged with Religious Zionism, and Otzma Yehudit and two other ultra-orthodox parties gained 64 out of 120 seats in the Knesset. Otzma Yehudit’s leader, Itaman Ben-Gvir, is considered extreme far right for Israel’s far right. Once, he advocated for Arab Israelis (sometimes referred to as “Palestinians living in Israel”) to undergo a “Loyalty Test” to determine who is disloyal to their ancestral homeland. From here, Netanyahu’s return to power may complicate the relations between the Israeli government, Israeli Arabs, and the Palestinian Authorities.  So, what may disadvantage Palestinians? As 4.5 million Palestinians living in the Palestinian Territories within the Occupied West Bank and East Jerusalem, they are subject to Israeli Law and affected by the election. Since they are Palestinian citizens, they have no right to be represented in the Knesset, even in the law-making process for the region of Judea and Samaria.  Back in 2020, Trump initiated the Trump Peace Plan or officially called “Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People” which was announced by Trump and Netanyahu. This peace plan is criticized due to the zero involvement of any Palestinian representatives and the map of Israel with Palestinian enclaves. This map is more confusing than the current Palestinian authority boundaries within the Occupied West Bank. And today, Netanyahu pledged to legalize dozens of illegal settler outposts in the area, after meeting with Ben-Gvir.  The rise of the extreme far right in Israel stimulates the victory of Likud and their allies and secures Netanyahu’s position to be the Israeli prime minister. Netanyahu has been cultivating his relations with the right extremist. And since 2021, Ben-Gvir and his party gained more support after frictions between Arabs and Jews who live In the same area within Israel proper after the hostilities in the Gaza area. This continued with various attacks from the Palestinians against Israeli settlers in the Occupied West Bank. The main campaign of the right-wing is the establishment of “law and order” in Israeli society. Many of the voters of the far-right parties are secular, upper middle class, young Israeli generations who are first-timer voters in the election. We can see the extremist, racist, and supremacist attitude when during the commemoration of 32 years of Rabbi Meir Kahane’s death Ben-Gvir was hooted by the sympathizers for his statement that he does not want to deport all Arabs.  Meanwhile, the victory of Netanyahu and his allies is congratulated by the president of the United Arab Emirates, Sheikh Mohamed bin Zayed al Nahyan. The president is also inviting Netanyahu. Netanyahu stated after he received the invitation to UAE by saying “Sheikh bin Zayed invited me to visit his country so that we can advance our relations together. I thank him for the conversation and the excellent relationship between us”. This attitude shows the acceptance of Netanyahu by the Israeli Middle Eastern close friends as Turkish President Recep Tayyip Erdogan also congratulated him. Erdogan and Netanyahu talked about the continuation of cooperation between Israel and Turkey to bring peace and stability to the Region. On the other hand, normalization of bilateral relations with Saudi Arabia might be an option for Netanyahu. These countries see more prospective cooperation in the region which Netanyahu will be seen to strengthen the balance of power between the Gulf Arab States and Iran.  However, Benjamin Netanyahu will receive a reaction from Israel’s cross-Atlantic ally, the United States. Even though US President Joe Biden congratulates Netanyahu, Biden’s administration and Democratic Party might disagree or boycott far-right ministers that Netanyahu appoints in the future. Two of the major Jewish groups in the US, the Anti-Defamation League, and the American Jewish Committee, have voiced their concerns along with the Democratic Congressman Brad Sherman. Sherman stated that he urges Israeli political leaders to ostracize extremists like Itamar Ben-Gvir whose outrageous views run contrary to Israel’s core principles of a democratic and Jewish state.  In conclusion, Israeli legislative election just resulted in the triumph of Benjamin Netanyahu with his far-right alliance defeating a more centrist Yair Lapid. The win is inseparable from the rise of far-right secular younger generations in Israel. This situation disadvantages Palestinian citizens and worries Arab citizens of Israel. At the same time, Gulf Arab leaders and Turkish leaders are more likely in favor of Netanyahu as Israeli Prime Minister to create a balance of power with Iran. But this may concern the US, particularly in the Democrat’s administration.