Sekira satu hingga dua dekade lalu, globalisasi adalah buzzword yang sering diungkapkan oleh para pejabat hingga pengamat. Berbagai seminar untuk menyiapkan diri menghadapi era globalisasi menjamur di banyak tempat. Hari ini, gairah masyarakat pada globalisasi tampak memudar.
Meredupnya antusiasme atas globalisasi tidak hanya terjadi di dalam negeri. Sejak keruntuhan Uni Soviet yang ikut menggaungkan globalisasi di saat bersamaan, skeptisisme terhadap globalisasi sudah ada. Kekecewaan terhadap globalisasi juga sudah muncul di masa-masa itu.
Kekecewaan yang mulanya muncul dari negara berkembang, meluas juga ke negara maju. Hanya saja, berbagai seri kekecewaan ini tertutup oleh optimisme terhadap globalisasi, mengingat kemajuan yang dibawa oleh globalisasi pun tidak sedikit (Stiglitz, 2002).
Di tengah kepercayaan tinggi pada globalisasi pasca runtuhnya Uni Soviet, tantangan terhadap
globalisasi juga tidak sedikit. Pada tahun 2001, selain tantangan keamanan global akibat serangan terorisme 9/11 di AS, liberalisasi perdagangan yang menjadi unsur penting dalam globalisasi juga mendapat hambatan dari kegagalan Doha Development Round dari WTO (The Doha Round, n.d.).
Krisis Finansial Global tahun 2008 turut memperberat tantangan globalisasi, sebab negara-negara maju mengalami kesulitan ekonomi dan memperlambat arus kapital dari negara maju ke negara berkembang.
Pandemi Covid-19 dan Perang Rusia-Ukraina turut memutar kembali pendulum globalisasi. Pandemi ini menghentikan arus orang, barang, dan jasa, tiga komponen penting dalam globalisasi dan menyisakan volatilitas dalam komponen terakhir, yakni arus kapital.
Sementara, Perang Rusia-Ukraina telah mengembalikan pertimbangan geopolitik dalam prioritas kebijakan luar negeri negara-negara great powers. Akibatnya, globalisasi mengalami perlambatan (slowbalization) dan mendesak negara berkembang seperti Indonesia untuk beradaptasi dengan kondisi global yang seperti ini (Aiyar & Ilyina, 2023).
Pertanyaan penting pun muncul di tengah situasi ini. Bagaimana kondisi globalisasi hari ini? Apakah globalisasi hari ini akan membentuk formasi baru yang berbeda dari yang selama ini kita pandang?
GLOBALISASI TERFRAGMENTASI
Melalui tulisan ini, saya berargumentasi bahwa globalisasi hari ini mengalami fragmentasi. Fragmentasi globalisasi terjadi dalam dua dimensi. Secara horizontal, globalisasi terfragmentasi dalam dua kubu utama ekonomi global, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok. Sementara itu, dalam masing-masing kubu, tercipta fragmentasi vertikal yang mencerminkan hierarki antar negara dalam sebuah jejaring ekonomi global. Kedua fragmentasi ini saling berkelindan hingga mempersempit ruang gerak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pada tingkat pertama, globalisasi mengalami fragmentasi horizontal antara dua kekuatan utama ekonomi global, yakni AS dan Tiongkok. Kebangkitan ekonomi Tiongkok menemui momentumnya pada Krisis Finansial Global 2008. Saat itu, di tengah kelesuan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, Tiongkok tetap tumbuh dengan percaya diri di atas 7% dan di tahun berikutnya berhasil menyalip Jepang menjadi negara dengan PDB Nominal tertinggi kedua di dunia. Hingga hari ini, meski pertumbuhan Tiongkok sudah mulai melambat, Tiongkok masih mempertahankan posisinya sebagai kekuatan ekonomi utama dunia bersama dengan AS.
Sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, industri manufaktur Tiongkok tidak lagi hanya memproduksi untuk kebutuhan produsen dari negara lain. Lebih dari itu, industri Tiongkok hari ini sudah mampu memproduksi barang sendiri dan memimpin rantai nilai bagi negara-negara berkembang lainnya. Kemampuan Tiongkok untuk menjadi pengikut sekaligus pemimpin dalam rantai nilai global ini telah mengangkat posisi Tiongkok ke puncak hierarki rantai pasok global.
Di saat bersamaan, AS merespon negatif kebangkitan Tiongkok ini. Di masa kepresidenan Donald Trump, AS meuncurkan Perang Dagang dengan Tiongkok karena merasa dirugikan oleh praktik produksi offshoring perusahaan AS di Tiongkok. Trump pun menyerukan reshoring produksi di AS dengan memanggil kembali perusahaan-perusahaan AS untuk membuka pabriknya di AS (Majiid, 2020a). Di masa Joe Biden, meski strategi Perang Dagang diperlunak, kebijakan industri yang diluncurkan juga menargetkan pelemahan industri Tiongkok, terutama yang berkaitan dengan teknologi tinggi seperti microchip dan kecerdasan buatan (Majiid, 2023).
Fenomena ini membuat adanya fragmentasi horizontal dari globalisasi arus barang dan kapital. Negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih kecil dihadapkan pada dilema antara industri AS atau Tiongkok. Memang, di atas kertas, tidak ada kebijakan resmi untuk saling mengeksklusi antara AS dengan Tiongkok. Hanya saja, dalam praktiknya, rantai nilai dalam jejaring produksi global mengarah pada kecenderungan untuk either China or the US, yang dalam pandangan Petri dan Plummer disebut sebagai friend-shoring (Petri & Plummer, 2023).
Dalam masing-masing kubu horizontal ini, terbentuk juga fragmentasi vertikal dalam hierarki rantai nilai global. Negara pemilik teknologi tinggi termutakhir akan memimpin rantai nilai. Sebab, dalam produksi sebuah barang, penilaian utama ada pada nilai tambah yang dihasilkan dalam proses produksi. Semakin tinggi nilai tambah, maka semakin tinggi pula kontribusinya pada PDB negara tersebut. Dengan begitu, akan semakin kuat pula daya tawar dia dalam jaringan produksi global.
DILEMA NEGARA BERKEMBANG
Bagi negara berkembang, fragmentasi globalisasi baik secara vertikal maupun horizontal akan mempersulit posisinya dalam ekonomi internasional. Di satu sisi, negara berkembang tidak memiliki daya tawar tinggi untuk meningkatkan posisi vertikalnya dalam hierarki globalisasi jika hanya bergabung dalam satu kubu fragmentasi horizontal. Di sisi lain, berada di kedua kubu akan meningkatkan ongkos politik maupun ekonomi untuk menyeimbangkan kepentingan AS dan Tiongkok.
Ambil contoh dalam produksi mobil listrik. Hari ini, Tiongkok memimpin produksi kendaraan listrik global. Dalam laporan terbaru International Energy Agency tahun 2024, sejak tahun 2016, Tiongkok sudah menjadi produsen utama kendaraan listrik global, baik dalam bentuk hibrida tersemat (PHEV – Plug in Hybrid Electric Vehicle) ataupun baterai penuh (BEV – Battery Electric Vehicle). Di tahun 2023 saja, Tiongkok memproduksi 21,9 juta kendaraan listrik, dengan masing-masing 16,1 juta BEV dan 5,8 juta PHEV, meninggalkan Eropa dengan produksi 6,7 juta BEV dan 4,5 juta PHEV maupun AS dengan 3,5 juta BEV dan 1,3 juta PHEV (Trends in Electric Cars – Global EV Outlook 2024 – Analysis, 2024).
Untuk memproduksi sebuah kendaraan listrik, suatu negara tidak bisa hanya mengandalkan pasokan sumber daya dari dalam negeri saja. Mereka harus membentuk rantai pasok lintas negara. Masing-masing simpul pada rantai tersebut akan menghasilkan satu komponen yang memiliki nilai tambah tertentu hingga nantinya akan dirangkai menjadi sebuah produk jadi yang utuh. Tingkatan pada hierarki yang terbentuk akan bergantung pada seberapa besar tiap simpul produksi menghasilkan nilai tambah. Negara yang menghasilkan mesin, misalnya, akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar ketimbang negara yang hanya menghasilkan bautnya.
Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menarik investasi baik dari Tiongkok maupun AS. Hanya saja, hingga hari ini, investasi dari Tiongkok tampak lebih dominan ketimbang AS, mempertebal posisi Indonesia dalam fragmentasi horizontal dalam kubu Tiongkok. Sayangnya, dalam fragmentasi vertikal ini, Indonesia berada dalam posisi yang riskan karena masih bergantung pada produksi bahan mentah, khususnya Nikel dan Kobalt, dan belum menaiki hierarki rantai nilai global ke posisi yang lebih tinggi (Clarke, 2023). Ke depan, negara berkembang seperti Indonesia perlu memperkuat posisinya agar tidak terjebak dalam fragmentasi vertikal maupun horizontal sebagai akibat dari fragmentasi globalisasi ini.
Refererensi
Aiyar, S., & Ilyina, A. (2023, February 8). Charting Globalization’s Turn to Slowbalization After Global Financial Crisis. International Monetary Fund.
https://www.imf.org/en/Blogs/Articles/2023/02/08/charting-globalizations-turn-to-slowbalization-after-global-financial-crisis
Clarke, S. (2023, March 2). Indonesia’s quest to enter EV supply chains. Economist Intelligence Unit.
https://www.eiu.com/n/indonesia-quest-to-enter-ev-supply-chains/
Held, D., & McGrew, A. (2003). The Great Globalization Debate: An Introduction. In D. Held & A. McGrew (Eds.), The Global Transformation Reader: An Introduction to the Globalization
Debate. Polity Press.
Majiid, F. A. (2020a, July 5). Kenapa Terjadi Perang Dagang AS Vs China? Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/famajiid/5f017dc9d541df7e0056bfe2/kenapa-terjadi-
perang-dagang-as-vs-china
Majiid, F. A. (2020b, December 18). Kecewa dengan Globalisasi? Baca Buku Ini!
(#BaBiBu)—YouTube. Youtube Belajar Bareng Majiid.
https://www.youtube.com/watch?v=AE08vw1186E
Majiid, F. A. (2023, June 5). Waspada Dampak Kebijakan Industri Amerika Serikat [News]. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/opini/20230605095837-14-442937/waspada-dampak-kebijakan-industri-amerika-serikat
Petri, P., & Plummer, Mi. G. (2023). Scenarios for a Global ‘New Normal’ and ASEAN Global Value Chains. In ASEAN and Global Value Chains: Locking in Resilience and Sustainability (pp. 258–311). Asian Development Bank.
Stiglitz, J. (2002). Globalization and Its Discontents. W. W. Norton.
The Doha Round. (n.d.). World Trade Organization.
https://www.wto.org/english/tratop_e/dda_e/dda_e.htm
Trends in electric cars – Global EV Outlook 2024 – Analysis. (2024, April). International Energy Agency.
https://www.iea.org/reports/global-ev-outlook-2024/trends-in-electric-cars