2022 Philippines Election: A View from Indonesia

When the first words of this article are being written, the preliminary results of the Philippines’ election have already been released by COMELEC, the official election commission of the Philippines. At the first sight, the writer himself could not believe that a son of a once-toppled kleptocratic-tyrannical dictator and his cliques are making a comfortable comeback as ruler in the Philippines. Initially, the writer tried to think that change is still possible in one of the oldest and most vibrant democracies in Asia. After all, most Philippines citizens would’ve probably learned lessons from the long periods of martial law under Ferdinand Marcos Sr., the father of the ‘victorious’ presidential candidate (BBC, 2022). Also, the years of hopelessness filled with political violence and human rights abuses during Rodrigo Duterte’s ruling had prompted some concerned Filipinos to mobilize a movement to initiate a new model of governance in the Philippines (Human Rights Watch, 2017). But the moment the writer continued his writing, two dynasties of human rights abusers who joined their hands as Presidential-Vice Presidential candidates gained significant support from the voters. As one of the Indonesian academics who have colleagues from the Philippines and followed the campaign trails of Philippine elections closely these months, the writer can’t help but make a parallel between the cases of the Philippines and Indonesia. While the Philippines is facing a possible kleptocratic dictatorship once again, Indonesia is also still trying to struggle to deal with the legacies of the Orde Baru regime and the tendencies of rising corruptive behaviors and political authoritarianism under Jokowi. After all these years of democratization and political reformation, what went wrong with Indonesia and the Philippines? A Systemic Problem: What Went Wrong? Despite the better options available for the Filipinos that were shown through the candidacy of Leni Robredo and Kiko Pangilinan as aspiring President and Vice President respectively, some Filipinos fell for the candidates who were never even attended the election debates. This brings us to the question: can we essentialize this phenomenon only to the context of developing democracies, such as the Philippines? In order to answer this question, Nicole Curato said that this phenomenon should not be exoticized only in the context of developing democracies (Curato, 2022). The rise of ‘populist’ and ‘strongman’ leaders like Victor Orban and Donald Trump is the real proof that this phenomenon is also happening in advanced democracies. On a regional level, the symptoms of an ill democracy that resulted in the popularity of ‘strongman’ could be seen in the cases of both Indonesia and the Philippines. Andres Ufen has even warned of a “Philippinization” of Indonesian politics since 2006. In short, Ufen tried to establish an argument that the Indonesian parties may take the shapes similar to the political machineries in the Philippines which not only lacked an ideological basis but were also prone to transactional politics and only used as a mere tool for political elites to secure their positions (Ufen, 2006). Despite the brief period of ideologization which was marked by the wave of ‘Islamic populism’ during the 2019 election, it could be seen that political parties are experiencing signs of de-ideologization (termed by Ufen as de-aliranization, similar to de-ideologization) and Indonesian political parties are increasingly influenced by strong presidentialism and party cartelization during the Jokowi era (Ufen, 2008; Slater, 2018). In the opinion of the writer, there are several reasons which have made the quality of democracy are becoming worse, especially after the 2019 election in Indonesia and the Philippines. The first point that needs to be highlighted here is the issue of disinformation that has challenged the essence of healthy democracy in both countries. During the course of the 2014 and 2019 general elections, Indonesian voters were being presented with malicious information presented by cyber troops (also known by the name of buzzer) that were recruited by campaign teams. These cyber troops are responsible for making a deep-rooted division between kecebong (pro-Jokowi supporters – kecebong means tadpole) and kadrun/kampret (pro-Prabowo supporters – kadrun means desert lizards and kampret means bat) happening until today (The Jakarta Post, 2019). The narratives that seek to establish the importance of choosing strong leader are also apparent in the case of Prabowo, who is associating himself with the ‘successful legacies’ and ‘stability’ of New Order (Vann, 2021). The writer is therefore not surprised to see the same case is also happening in the Philippines. Bongbong Marcos and his campaign team has manipulated public opinion by framing Marcos Sr’s legacy in an exaggerated way (The New York Times, 2022). Sadly, many younger generations in Indonesia and the Philippines who lacked literacy and enough historical knowledge easily consumed this kind of propaganda without further criticism. The second point that needs to be marked here is the strong case of political elitism in both countries, which shunned the possibility of oppositional voices being heard. While Jokowi’s victory in 2019 has seen by some as “victory of a lesser evil”, the increasing authoritarianism under Jokowi has made the quality of Indonesian democracy plunge significantly. Jokowi has always used his extensive presidential powers in order to curb many oppositional voices coming from all ideological strands, ranging from Islamist Hizbut-Tahrir to the activists of Papuan rights. Similar cases are also happening in the Philippines, where Duterte has increasingly put pressure towards journalists, environmental activists, and especially leftists. The third point is the rampant phenomenon of money politics. This is especially a significant marker for countries which implemented crony capitalism for decades. The practice of money politics in both countries is being empowered by the clientelist networks of elite politicians who are collaborating with oligarchs. In the case of Indonesia, it is known that aspiring candidates and their success teams are spreading in-cash donations during the early hours of election day (thus known as serangan fajar or dawn attack in English). This practice could also be witnessed during the days and weeks before the Philippines’ general election this year. Atienza saw this phenomenon as solidifying the ground
Mengapa Greenwashing Berbahaya dan Bagaimana Membebaskan Diri dari Perangkapnya?

Istilah greenwashing pertama diungkapkan oleh Jay Westerveld pada tahun 1986. Greenwashing merujuk pada kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam organisasi yang menghabiskan lebih banyak waktu dan uang untuk iklan dengan tujuan menjelaskan bahwa kinerja organisasi tersebut telah ‘hijau’ dan mempraktikkan kegiatan yang ramah lingkungan (Idowu et al., 2013). Sedangkan menurut Delmas & Burbano (2011) greenwashing dideskripsikan sebagai performa lingkungan sebuah perusahaan yang buruk dan komunikasi yang positif dalam menggambarkan performa tersebut. Perusahaan bukan berarti telah sepenuhnya menjalankan perekonomian maupun pembangunan hijau. Justru, tindakan menyesatkan mereka adalah mengelabui konsumen dengan mengatakan mereka telah melakukan proses produksi dengan cara hijau, tetapi sesungguhnya tidak. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, hampir 4000 produk yang dikonsumsi masyarakat ditemukan unsur greenwashing di dalamnya (Orange, 2010). Beberapa contoh menyesatkan tentang produk yang diklaim ramah lingkungan antara lain penyebutan nontoxic (tidak beracun), natural (alami), dan fragrance free (bebas pewangi). Padahal pemerintah federal Amerika Serikat tidak pernah menetapkan standar lingkungan secara spesifik terhadap produk-produk tertentu (Orange, 2010). Tujuh Dosa Greenwashing Secara umum dikenal tujuh dosa greenwashing (UL, n.d.) atau juga disebut sebagai Claim Greenwashing (de Freitas Netto et al., 2020). Pertama, the sin of the hidden trade-off yang merupakan klaim yang menyatakan bahwa produk bersifat hijau secara sempit tanpa memerhatikan pada aspek lingkungan lain yang penting. Contohnya adalah pembuatan kain dari kapas, bukan berarti telah ramah lingkungan meskipun bahan baku kain diambil dari panen kapes di lahan sendiri. Masih ada aspek lain seperti kemungkinan lahan kapas merupakan hasil deforestasi, adanya eksploitasi buruh, pencemaran lingkungan dari pewarna tekstil, dan sebagainya. Kedua, the sin of no proof yang artinya adalah tidak ada bukti atau standar tertentu bahwa sebuah produk telah terverifikasi hijau. Contohnya adalah klaim mengenai kantong plastik yang berasal dari plastik daur ulang. Jika tidak ada detail informasi mengenai seberapa banyak komposisi plastik daur ulang dan detail yang lain, maka bisa dikatakan klaim hijau tidak dapat dibuktikan. Ketiga, the sin of vagueness merupakan klaim yang menyesatkan mengenai definisi yang kurang jelas atau terlalu luas, seperti ‘terbuat dari bahan alami’. Padahal, uranium, merkuri, dan arsenik (dan masih banyak contoh lain) merupakan bahan yang terbentuk secara alami tetapi beracun. Keempat, the sin of worshiping false label, yaitu sebuah produk yang seolah-olah memiliki mendapatkan sertifikasi, sehingga menyesatkan konsumen untuk memiliki pikiran bahwa produk tersebut telah memiliki sertifikasi hijau. Contohnya adalah produk yang memiliki tampilan berwarna hijau dan terdapat tulisan seperti ‘ramah lingkungan’, tanpa ada penjelasan atau sertifikasi tertentu yang dapat menjustifikasinya. Kelima, the sin of irrelevance merupakan klaim yang mungkin benar tetapi tidak penting atau memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan, seperti pemberian label ‘bebas CFC’. Kenyataannya CFC telah dilarang untuk digunakan di banyak negara. Dengan memberi label tersebut, tidak akan menambah utilitas maupun kualitas produk. Keenam, the sin of lesser of two evils, yaitu klaim yang mungkin benar dalam kategori sebuah produk, tetapi bisa membahayakan karena dampak lingkungan yang lebih besar. Contohnya adalah produk mobil sport ramah lingkungan karena menggunakan bahan bakar dari listrik. Namun, sejatinya tetap menrusak lingkungan karena listrik diproduksi dari pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Ketujuh, the sin of fibbing artinya adalah klaim hijau yang keliru. Contoh yang paling sering muncul adalah sertifikasi Energy Star yang mengklaim bahwa produk tersebut merupakan produk yang hemat energi dan ramah lingkungan. Namun, sebenarnya sertifikasi tersebut tidak ada. Alih-Alih ‘Hijau’, Greenwashing Justru Berbahaya Secara kultural, greenwashing dapat dikorelasikan dengan konsep antroposentrisme (Miller & Maxwell, 2017). Antroposentrisme menempatkan manusia sebagai pusat kegiatan pembangunan (Baker, 2006). Jika menggunakan logika tersebut, maka lazim jika perusahaan mengesampingkan aspek lingkungan dalam proses bisnis. Kini, perusahaan sudah banyak meninggalkan Claim Greenwashing. Akan tetapi, greenwashing tersebut justru ditransformasikan perusahaan dalam bentuk lain, yaitu Executional Greenwashing (de Freitas Netto et al., 2020). Contohnya adalah dengan menampilkan produk dengan nuansa warna-warna alam seperti hijau, cokelat, dan sebagainya, menggunakan logo-logo yang menggambarkan alam seperti hutan, laut, dan sebagainya, ataupun gambar hewan-hewan yang terancam punah seperti panda dan lumba-lumba. Greenwashing semakin berbahaya jika dihadapkan pada konteks corporate social responsibility (CSR). Perusahaan berupaya mengelabui konsumen dengan memberikan CSR, baik yang bernuansa ‘hijau’ atau tidak, untuk menutupi fakta bahwa perusahaan mereka tidak memenuhi standar lingkungan (Wu et al., 2020). Organisasi nonpemerintah internasional Greepeace telah berkali-kali menekan perusahaan-perusahaan multinasional untuk menetapkan standar dalam memerangi greenwashing dan pendanaan yang selaras dengan Kesepakatan Paris (Greenpeace International, 2021). Berdasarkan penelitian di 45 negara pada tahun 2004-2007, perusahaan yang lebih merusak lingkungan, terutama di negara-negara yang lebih terpapar pengawasan dan norma-norma global, cenderung tidak terlibat dalam pengungkapan selektif atau transparansi proses bisnis (Marquis, 2016). Padahal, transparansi seharusnya dilakukan oleh perusahaan dengan menjelaskan seberapa hijau praktik bisnisnya untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. Membebaskan Diri dari Perangkap Greenwashing Pertama, perlu memahami dan mengakui bahwa greenwashing merupakan sesuatu yang kita konsumsi sehari-hari, bahkan kita mungkin pernah terjebak dalam perangkapnya. Dengan memiliki kesadaran ini, maka kita akan cenderung lebih berhati-hati dan kritis dalam menilai produk hijau. Kedua, memulai gaya hidup dengan melakukan reuse, recycle, reduce produk-produk yang kita konsumsi. Menerapkan gaya hidup ini berarti kita telah memperpanjang usia produk yang kita konsumsi atau pakai, sehingga mengurangi kecenderungan untuk menjadi konsumtif. Ketiga, mempromosikan dan mengampanyekan bahaya greenwashing. Clicktivism menjadi jalan yang sering ditempuh untuk melakukan kampanye lingkungan. Keempat, kampanye saja tidak cukup, perlu dukungan secara sistemik dari otoritas untuk melepaskan konsumen dari jerat greenwashing. Otoritas perlu berkolaborasi dengan cendekiawan untuk merumuskan regulasi yang aplikatif dan tegas dalam menindak perusahaan yang melakukan greenwashing. Kelima, menuntut perusahaan untuk melakukan transparansi dalam bisnis yang ia jalankan. Dengan dukungan regulasi yang tepat, maka transparansi tidak sekadar hitam di atas putih, tetapi juga implementatif. Inti dari upaya ini adalah individu mungkin mampu menciptakan dampak di level mikro dalam melepaskan diri dari jerat greenwashing. Akan tetapi, di level hulu, pembuatan kebijakan yang aplikatif dan implementasi yang tegas merupakan aksi kolektif yang sesungguhnya. Tanpa kebijakan dari otoritas, maka upaya memberantas greenwashing terdengar seperti ‘menggarami air laut’. Referensi: Baker, S. (2006). Sustainable Development. New York: Routledge. de Freitas Netto, S. V., Sobral, M. F. F., Ribeiro, A. R. B., & Soares, G. R. da L. (2020). Concepts and forms of greenwashing: A systematic review. Environmental Sciences Europe, 32(1), 19. https://doi.org/10.1186/s12302-020-0300-3